Membaca Ahok

Membaca Ahok
Kazzaini Ks (foto:net)

Oleh Kazzaini Ks

MENARIK menyimak langkah Ahok beberapa hari ini. Tiba-tiba ia mundur dari Pertamina. Padahal jabatannya tak tanggung-tanggung, Komisaris Utama, dengan pendapatan per tahun membuat banyak orang menelan liur, apalagi bagi para penunggu BLT (bantuan tunai langsung) dan para penerima bansos (bantuan sosial), termasuk yang dibagikan di jalan-jalan, termasuk juga yang dibagikan di depan istana.

Ahok mundur dari Pertamina tidak lama setelah Mahfud MD menyatakan berhenti sebagai Menko Polhukam. Ahok menyatakan mundur dengan alasan ingin fokus berkampanye untuk Ganjar-Mahfud. Itu memang dibuktikannya. Setelah mundur, ia langsung menggebrak.

Mengapa Ahok membuat keputusan yang cukup mengejutkan itu? Mungkin banyak yang kaget. Soalnya, dengan menyatakan mundur dari posisi Komisaris Utama Pertamina, dan kemudian fokus berkampanye untuk Ganjar-Mahfud, itu artinya Ahok siap berhadap-hadapan dengan Jokowi, tokoh yang selama ini dikesankan partner politiknya yang paling sohib.

Apalagi kemudian tidak lama setelah menyatakan mundur ia langsung tancap gas, menyerang kubu Prabowo-Gibran. Bahkan yang paling menghebohkan adalah pernyataannya bahwa jika terpilih pun Prabowo tidak akan bisa bertahan lama menjadi Presiden RI, karena kondisi kesehatannya. Di tengah jalan Prabowo akan digantikan Gibran, anak muda yang dikatakan sebagai perusak konstitusi dan pelanggar etika.

Sungguh tertangkap kesan Ahok adalah orang yang sangat menjunjung etika, sehingga ia tidak sudi lagi bergandengan tangan dengan Jokowi. Bahkan pernyataan terbaru yang lebih mengejutkan, Ahok menyebut bahwa sebenarnya Jokowi tidak bisa bekerja. Ketika pernyataan ini viral, Ahok cepat-cepat meralat dan berkilah bahwa video pidatonya itu telah dipotong, tanpa menunjukkan video lengkap yang ia maksudkan.

Dari peristiwa-peristiwa beberapa hari ini, tertangkap kesan bahwa Ahok adalah kader PDIP militan, yang betul-betul menghayati dan menjiwai falsafah partai yang dinakhodai Megawati ini. Demi PDIP, ia bahkan sanggup meninggalkan jabatan basah dan empuk di Pertamina, yang pendapatan per bulannya mencapai Rp8,3 miliar, dan rela berseberangan dengan orang yang paling dekat dengannya.

Yang menarik, pada kampanyenya dalam beberapa hari ini, Ahok tidak menyerang Anies Baswedan, kecuali tentang program rumah DP 0 persen di Jakarta yang diejeknya sebagai program yang gagal dan tak masuk akal. Padahal kita tahu bahwa selama ini Anies adalah musuh bebuyutannya, terutama sejak pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang Anies menangkan.

Apakah Ahok sudah berubah? Apa yang membuat Ahok mengubah pandangan dan sikap? Banyak yang bertanya-tanya.

Menurut saya, tidak ada yang berubah dari Ahok. Ahok sekarang tetap Ahok yang dulu. Pandangan dan sikapnya pada dasarnya tetap pada pandangan dan sikap yang sama.

Ahok bukanlah kader PDIP yang militan. Ia tidak lahir dan besar dari rahim PDIP. Ia bukan anak kandung PDIP. Ketika menjadi bupati di salah satu kabupaten di Provinsi Bangka Belitung, ia tercatat sebagai kader Partai Golkar. Setelah itu, ia meloncat ke Gerindra dan menjadi anggota DPR RI. Ketika menjadi wakil Jokowi di DKI Jakarta, ia pindah ke PDIP. Ia kemudian diusung PDIP untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta berpasangan dengan Jarot. Jarot adalah kader PDIP tulen.

Pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta inilah peristiwa yang perih dirasakan Ahok. Ia yang saat itu sebagai petahana dan didukung penuh oleh Presiden Jokowi, dikalahkan Anies Baswedan yang berpasangan dengan Sandiaga Uno. Padahal survei-survei mengunggulkannya. Anies-Sandiaga diusung Gerindra, partai yang dulu membesarkan Ahok dan kemudian ditinggalkannya. Tidak hanya itu, ia bahkan kemudian dipenjara karena terbukti rasis, mempermainkan ayat Alquran dalam kampanyenya. Padahal ia non muslim.

Salah satu bukti kedekatannya dengan Jokowi, setelah gagal menjadi Gubernur DKI Jakarta lagi, ia diangkat menjadi Komisaris Utama Pertamina, posisi yang tidak tanggung-tanggung. Padahal ia baru keluar penjara.
Lantas, mengapa Ahok membuat langkah yang terkesan tiba-tiba dan mengejutkan ini?

Langkah ini diambil Ahok sebenarnya tidak terlepas dari selimut dendam politiknya terhadap Anies yang hingga kini belum juga bisa dilepaskannya. Ada kecemasan melihat pada data-data terakhir menjelang berakhirnya masa kampanye.

Berdasar paparan dari banyak lembaga survei yang mengemuka, Prabowo-Gibran memang memperoleh hasil yang tertinggi, tapi tidak juga bisa menembus di atas 50 persen. Padahal semua potensi, daya, dan kekuatan sudah dikerahkan. Bahkan Presiden Jokowi sudah dengan tidak malu-malu dan terang-terangan turun tangan. Di sisi lain, posisi Ganjar-Mahfud cenderung terus menurun dan berada di urutan ketiga.

Dengan posisi seperti ini, maka pemilihan presiden akan berlangsung dua putaran, dan yang berpeluang besar masuk ke putaran kedua adalah pasangan Prabowo-Gibran dan pasangan Anies-Muhaimin. Pasangan Ganjar-Mahfud akan tersingkir.

Hal inilah yang dicemaskan Ahok. Ia cukup trauma dengan posisi seperti ini. Posisi semacam inilah yang dialaminya di pemilihan Gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu. Ketika itu, Ahok-Jarot berada di posisi teratas, tapi tidak bisa menembus di atas 50 persen. Maka berlangsung putaran kedua berhadapan pasangan Ahok-Jarot dan Anies-Sandiaga, setelah AHY dan pasangannya tersingkir karena berada di posisi ketiga. Di putaran kedua ini terjadi hasil yang mengejutkan. Ahok-Jarot kalah. Ketika itu yang terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta pasangan Anies-Sandiaga.

Hal inilah yang mendorong Ahok merasa harus dan perlu turun tangan. Ia tidak mau Anies menang. Ia tidak rela Anies menjadi Presiden Indonesia. Ia sebenarnya tidak begitu peduli apakah Prabowo atau Ganjar yang jadi. Yang penting jangan Anies.

Lantas, mengapa yang ia serang Prabowo-Gibran, bukan Anies? Hal ini karena ia merasa masih punya pengikut, yang disebut dengan Ahoker. Ia tahu para loyalisnya banyak merapat ke kubu Prabowo-Gibran, karena ada Jokowi di situ. Para Ahoker ini selama ini beranggapan, di mana Jokowi di situlah juga Ahok. Para Ahoker ini tidak mungkin memberikan dukungan kepada Anies.

Para Ahoker inilah yang ingin ditarik Ahok untuk mendongkrak suara Ganjar-Mahfud agar masuk ke putaran kedua dan menyingkirkan posisi Anies-Muhaimin ke urutan ketiga. Untuk itu ia harus menunjukkan sikap secara tegas kepada para pendukungnya itu, tidak abu-abu, bahwa ia berada bersama Ganjar-Mahfud. Bahkan, untuk meyakinkan pengikutnya, jika perlu menyerang Jokowi. Ia sadar langkahnya itu akan menggerus suara Prabowo-Gibran, tapi ia meyakini Prabowo-Gibran tidak akan terlempar.

Ahok sangat berharap yang masuk putaran kedua adalah pasangan Prabowo-Gibran dan pasangan Ganjar-Mahfud. Bukan pasangan Anies-Muhaimin. Anies betul-betul membuat ia trauma. **

*Kazzaini Ks, wartawan, pernah menjadi pemimpin redaksi di beberapa surat kabar terkemuka di Sumatera*

#Pemerintahan

Index

Berita Lainnya

Index