Perjuangan Provinsi Istimewa Riau, TNTN Masih Proses, PHR Hasil Minim..

Perjuangan Provinsi Istimewa Riau, TNTN Masih Proses, PHR Hasil Minim..
Zulkarnain Kadir Pengamat Hukum dan Pemerhati Birokrasi (foto:net)

Oleh Zulkarnain Kadir Pengamat Hukum dan Pemerhati Birokrasi

NARASI “Riau provinsi istimewa” kembali mengemuka. Tetapi di balik julukan itu, muncul ironi yang justru menegaskan betapa timpangnya hubungan antara potensi sumber daya alam yang dimiliki Riau dengan jumlah penerimaan daerah yang diterima pemerintah provinsi.

Dari Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) yang menjadi sorotan dunia hingga ladang minyak PT Pertamina Hulu Rokan (PHR), sejumlah kalangan menilai bahwa kontribusi besar Riau ke tingkat nasional tidak berbanding lurus dengan manfaat yang diterima daerah. Bahkan, dari sektor migas, angka penerimaan yang masuk ke pemerintah provinsi,yang berada di bawah pimpinan Gubernur Riau abdul wahid,kini menjadi perhatian karena kerap disebut hanya setara “1 dolar per barel”.

TNTN Jadi Luka Ekologi yang Belum Sembuh

Taman Nasional Tesso Nilo merupakan salah satu kawasan konservasi terpenting di dunia, indonesia dan riau sebagai paru paru makluk hidup, rumah bagi populasi gajah yang tersisa, dan pusat keanekaragaman hayati. Namun TNTN juga merupakan simbol kerusakan ekologi Riau.

Dalam satu dekade terakhir, perambahan besar-besaran, aktivitas ilegal, dan lemahnya pengawasan menyebabkan ribuan hektare hutan menyusut. Konflik manusia-satwa meningkat seiring habitat yang semakin terdesak.

Meski berada di wilayah administrasi Riau, pemerintah provinsi tidak punya kewenangan penuh dalam pengelolaan TNTN karena statusnya berada langsung di bawah pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Akibatnya:

Riau menanggung dampaknya, tetapi kewenangan dan anggaran pengelolaan terbatas.


TNTN menjadi contoh bagaimana “istimewa” itu hanya berlaku di peta dan dokumen, bukan dalam bentuk dukungan nyata untuk menyelamatkan hutan yang menyimpan nilai ekologi dunia.


PHR: Produksi Nasional Bertumpu di Riau, Daerah Hanya Terima Nilai Simbolis

Setelah alih kelola Blok Rokan dari Chevron ke Pertamina Hulu Rokan (PHR), pemerintah pusat menegaskan bahwa Riau akan mendapatkan manfaat lebih besar dari sektor migas. Namun kenyataan di lapangan berbeda jauh.

Jumlah lifting minyak masih menjadikan Riau sebagai penyumbang teratas nasional, tetapi skema bagi hasil migas yang diterapkan pemerintah pusat membuat penerimaan daerah jauh lebih kecil dibanding kontribusi produksi.

Beberapa pengamat menyebut bahwa yang diterima Pemprov Riau melalui Dana Bagi Hasil (DBH) seringkali hanya setara “1 dolar per barel”, angka yang menjadi metafora ketidakadilan fiskal. menjadi perbincangan di masyarakat, betapa tidak logisnya perbandingan antara apa yang diambil dari perut bumi Riau dengan apa yang kembali ke daerah.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar. Mengapa daerah penghasil migas secemerlang Riau justru menerima nilai minimal?

Kontribusi Besar, Kewenangan Kecil

Di atas kertas, Riau adalah provinsi istimewa karena:

1. punya cadangan migas besar,


2. punya kawasan konservasi penting skala dunia,


3. menyumbang PAD dan PDRB signifikan ke negara,


4. menjadi pusat industri sawit dan kelapa terbesar di Indonesia.

Namun dalam praktiknya, pemerintah daerah masih menghadapi. Ketergantungan tinggi pada transfer pusat, keterbatasan fiskal untuk infrastruktur, penanggulangan bencana, dan perbaikan lingkungan, kewenangan terbatas dalam mengelola kawasan hutan dan migas. Beban sosial-ekologi yang tidak diimbangi dengan alokasi anggaran yang adil.

Dengan kata lain, Riau istimewa sebagai penyumbang, tetapi tidak istimewa sebagai penerima manfaat.

Publik Pertanyakan Makna Istimewa

Sejumlah analis kebijakan menyebut bahwa istilah “istimewa” bagi Riau kini justru membawa nuansa satir. “Istimewa karena memberi, bukan menerima,”

Situasi ini memicu kritik dari berbagai pihak, termasuk akademisi, LSM lingkungan, aktivis migas, dan tokoh masyarakat. Isu penerimaan migas yang minim menjadi sorotan utama karena dianggap tidak mencerminkan kontribusi strategis yang diberikan Riau selama puluhan tahun.

Tuntutan: Perjuangan Fiskal yang Lebih Berani

Dengan kondisi ini, banyak pihak mendorong Plt Gubri SF Harianto untuk mengambil langkah konkret, antara lain negosiasi ulang porsi DBH, mendorong revisi regulasi bagi hasil, memastikan transparansi lifting migas, memperjuangkan status khusus fiskal untuk daerah penghasil, menata kembali perlu atau tidak perjuangan Riau menjadi provinsi istimewa, dan percepatan penyelesaian TNTN dengan baik, tampa ada para pihak yang di rugikan secara adil. Riau tidak bisa terus menjadi provinsi yang “mengirim banyak, menerima sedikit”.


Arah Masa Depan

Jika tidak ada perubahan skema fiskal dan penguatan kewenangan, narasi “Riau istimewa” hanya akan menjadi jargon yang semakin kehilangan makna. TNTN makin terancam, PHR terus memproduksi, tetapi daerah tetap mendapat porsi kecil.

Pertanyaan yang kini menggema di masyarakat: hak istimewa nanti nya buat  siapa, untuk siapa sebenarnya?” ayo Plt Gubri ..semangat untuk Riau bermarwah , bermartabat kedepan..aamiin.**

#Pemerintahan

Index

Berita Lainnya

Index