Peraturan Polisi Melawan MK: Saat Polisi Mengatur Tidak Patuh Hukum

Peraturan Polisi Melawan MK: Saat Polisi Mengatur Tidak Patuh Hukum
Zulkarnain Kadir Pengamat Hukum dan Pemerhati Birokrasi (foto:net)

Oleh Zulkarnain Kadir Pengamat Hukum dan Pemerhati Birokrasi 

NEGARA ini adalah negara hukum, bukan negara yang diatur oleh peraturan internal. Namun, belakangan ini publik merasakan rasa pahit: Peraturan Pemerintah Polri (Perpol) bicara lebih lantang daripada putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Putusan MK: Tegas, Final, Mengikat

MK sudah memutus dengan jelas, anggota Polri aktif tidak boleh sembarangan duduk di jabatan sipil. Titik. Tapi apa yang terjadi setelah itu? Muncul Perpol yang isinya rapi, bahasanya administratif, dan nadanya seolah patuh hukum. Padahal substansinya membuka pintu belakang melalui istilah-istilah seperti "jabatan tertentu", "penugasan khusus", dan "kebutuhan organisasi". Ini bukan ketaatan — ini akal-akalan hukum.

Siapa yang Lebih Tinggi: MK atau Perpol?

Pertanyaan ini seharusnya memalukan di negara demokrasi. Putusan MK adalah hukum baru yang hidup, sedangkan Perpol hanyalah aturan rumah tangga. Jika aturan rumah tangga mulai "mengatur ulang" hukum, yang terjadi bukan disiplin, melainkan pembangkangan elegan.

Dwifungsi Tidak Mati, Hanya Berganti Nama

Dulu namanya dwifungsi ABRI, sekarang namanya "penugasan". Dulu pakai seragam, sekarang pakai jas sipil. Tapi logikanya sama: kekuasaan bersenjata ingin tetap bercokol di ruang sipil.

Bahaya yang Lebih Besar dari Sekadar Jabatan

Ini bukan soal kursi — ini soal preseden. Hari ini Perpol bisa menyiasati MK, besok lembaga lain bisa melakukan hal yang sama. Jika putusan MK bisa "diatur ulang", apa gunanya pengadilan konstitusi?

Polisi dan Etika Negara Hukum

Polri adalah alat negara, bukan penafsir terakhir konstitusi. Jika hukum hanya ditaati ketika menguntungkan institusi, pesan ke publik jelas: "hukum itu fleksibel, asal punya kekuasaan". Dan itu adalah tanda bahaya bagi demokrasi.

Negara Tidak Boleh Kalah oleh Perpol

Jika Perpol bertentangan dengan putusan MK, maka, parpol harus dicabut. Jabatan sipil harus dikosongkan dan reformasi Polri harus dikembalikan ke jalurnya.

Jika tidak, kita sedang menyaksikan negara hukum dikalahkan oleh aturan internal — dan itu bukan sekadar salah kelola, melainkan pembangkangan konstitusional.

Kenapa Polri Mau Bertahan di Jabatan Sipil?

Bukan karena darurat negara atau kekurangan SDM sipil — tapi karena kekuasaan itu candu.

1. Jabatan Sipil = Akses Kekuasaan & Anggaran

Jabatan sipil bukan kursi kosong. Di sana ada kendali kebijakan, akses anggaran, jaringan proyek, dan posisi tawar politik. Bagi institusi bersenjata, ini wilayah basah yang sulit dilepas.

2. Trauma Kehilangan Dwifungsi

Reformasi 1998 mencabut dwifungsi, tapi budayanya tidak pernah benar-benar mati. Yang berubah hanya bentuk: dulu resmi, sekarang "penugasan". Polri belum sepenuhnya rela kembali hanya sebagai penegak hukum.

3. Mengamankan Kepentingan Institusi

Pejabat Polri di jabatan sipil berfungsi sebagai "mata dan telinga" institusi, pengaman kebijakan internal, dan penyangga jika kepentingan Polri diganggu. Ini soal kontrol, bukan pelayanan publik.

4. Ketidakpercayaan pada ASN Sipil

Dalih klasiknya: "ASN belum siap, belum kuat, belum paham keamanan". Padahal ini bukan soal kemampuan, melainkan keengganan melepas kendali. Jika ASN dianggap selalu lemah, apa gunanya reformasi birokrasi?

5. Jalur Karier & Kursi Empuk Pasca-Operasi

Jabatan sipil jadi tempat parkir perwira, jalur aman menjelang pensiun, dan kursi empuk tanpa risiko lapangan. Ini kenyamanan struktural, bukan kebutuhan negara.

6. Lemahnya Ketegasan Sipil

Jika pemerintah sipil tegas, praktik ini selesai. Masalahnya: Presiden ragu, DPR kompromistis, dan publik cepat lupa. Ketika sipil lemah, institusi bersenjata mengisi ruang kosong.

Polri mempertahankan jabatan sipil bukan demi negara, tapi demi pengaruh, akses, dan rasa aman institusional. Ini bukan salah individu — ini masalah struktur kekuasaan yang tak pernah benar-benar direformasi.

Jika negara terus membiarkan, jangan heran, dwifungsi memang mati di atas kertas, tapi hidup subur di praktik.**
 

#Pemerintahan

Index

Berita Lainnya

Index