iniriau.com, Pekanbaru - Praktisi Hukum Riau Aspandiar mempertanyakan peran Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Riau dalam penegakan hukum kasus Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di Riau. Sebab sebagai LSM lingkungan hidup, WALHI dinilainya memiliki legal standing dan bisa menjadi perwakilan penegakan hukum kasus karhutla yang hampir tiap tahun terulang di Riau.
Menurut Aspandiar, WALHI bisa mengajukan gugatan ke pengadilan mewakili kepentingan lingkungan hidup, berdasarkan UU pengelolaan lingkungan hidup.
Sebab WALHI memiliki legal standing mengajukan gugatan ke pengadilan mewakili kepentingan lingkungan hidup, berdasarkan UU pengelolaan lingkungan hidup.
"Saat ini terjadi kekosongan penegakan hukum terhadap korporasi dalam kasus karhutla. Nah ini bisa diisi oleh WALHI. Mereka punya legal standing untuk itu, dan punya kapasitas menggugat ke pengadilan. Saya harap WALHI Riau juga ikut mengambil langkah tegas terhadap kasus hukum karhutla di Riau," kata Aspandiar saat di wawancara iniriau, Jumat (1/8) di LAM Riau.
WALHI sebagai LSM lingkungan hidup menurut Aspandiar memiliki data lengkap dan mengenai rekam jejak korporasi yang membuka lahan kebun sawit di Riau. Ini adalah pintu masuk bagi WALHI untuk ikut mengusut korporasi yang terlibat karhutla.
Hal ini dijelaskan Aspandiar karena masalah Karhutla di Riau sepertinya tak pernah habis. Bahkan sudah menjadi bencana tahunan saat Riau memasuki musim kemarau. Titik api muncul di sejumlah kabupaten dan kota.
"Karhutla ini tiap tahun selalu terjadi di Riau. Untuk penanganannya saya lebih suka bagaimana cara pencegahannya oleh pihak-pihak terkait," kata Aspandiar melanjutkan penjelasannya.
Pengacara senior itu memberi contoh cara pencegahan karhutla di era Jokowi. Saat itu, presiden RI ke-7 tersebut mengancam akan mengevaluasi pimpinan APH nya. Langkah mengevaluasi tersebut dinilai efektif, sehingga beberapa tahun Riau memang bebas dari karhutla dan asap.
"Sebenarnya hanya tinggal mencontoh yang sudah ada. Saat itu, Kodam dan Polda bekerjasama hingga tingkat kecamatan, dan APH juga melibatkan korporasi yang memiliki HPH. APH meminta korporasi menyediakan alat dan tenaga untuk antisipasi karhutla," tutur Aspandiar melanjutkan penjelasannya.
Saat ditanya mengapa langkah penegakan hukum oleh APH kurang tegas terhadap korporasi, yaitu hanya sampai penyegelan, Aspandiar yang juga aktif sebagai pengurus LAM Riau itu dengan lugas menjelaskan faktor ekonomi sosial menjadi pertimbangannya.
"Sebenarnya faktor ekonomi sosial yang jadi pertimbangannya. Jika perusahaan ditutup, korporasi bukan rugi saja, kelangsungan hidup pekerja juga harus dipikirkan. Ini mungkin pertimbangan mengapa hingga saat ini korporasi masih bebas beraktivitas," tutup Aspandiar yang juga pernah menangani kasus hukum karhutla di Riau tersebut.
Dari data yang dihimpun iniriau.com, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah menyegel empat korporasi sawit dan menghentikan operasional satu pabrik sawit di Riau, karena karhutla yang terus meluas di wilayah tersebut.
Empat perusahaan sawit tersebut adalah PT Adei Crumb Rubber, PT Multi Gambut Industri, PT Tunggal Mitra Plantation, dan PT Sumatera Riang Lestari. Empat perusahaan ini memiliki hotspot kepercayaan sedang dan dijatuhkan sanksi administrasi.
Sementara itu, PT Jatim Jaya Perkasa dijatuhkan sanksi paling berat, pemberhentian operasional karena adanya hotspot dengan kepercayaan tinggi disertai emisi cerobong yang mencemari udara di Rokan Hilir.
KLHK juga menegaskan proses penegakan hukum masih terus berjalan, dengan jalur pidana, perdata, maupun administrasi.**