"Runtuh"

Foto istimewa

Lagu Feby Putri mengalun indah, menemati penantianku di ruang tunggu.

"RUNTUH", sesuai judulnya, sebuah pertahanan yang akhirnya jebol karena tak sanggup terus menerus memanipulasi diri dan perasaan.

“Kita hanyalah manusia yang terluka, terbiasa tuk pura-pura tertawa. Namun bolehkah skali saja kumenangis, ku tak ingin lagi membohongi diri”

Lagu ciptaan Fiersa Besari ini bermakna dalam sekali. Tentang sebuah kepura-puraan yang tak ingin ditutupi lagi, sebelum akhirnya tumpah dalam tangis lirih dan keinginan untuk jujur, walaupun cuma sekali.

Jika semua manusia mau jujur seperti Feby Putri, mungkin dunia ini akan aman dan nyaman. Semua masalah akan selesai,  tak ada konflik dan saling menyakiti. Tak ada kebohongan dan manipulasi yang memakan korban.

Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, banyak peristiwa di sekitar kita yang membuat kepercayaan kita runtuh. Terutama pada penegakan hukum yang masih banyak jadi komoditas politik.

Terbaru, pada kasus hukum  Tom Lembong (TL) ketika divonis 4,5 tahun penjara oleh majelis hakim PN Jakarta. Hakim hampir mengabaikan semua fakta persidangan yang membuktikan TL tidak bersalah. Vonis itu membuat banyak praktisi hukum tertunduk, sebegini parahnyakah hukum di negara yang katanya sangat menjunjung supremasi hukum?

"Kalau kepercayaan terhadap hukum dan peradilan sudah runtuh, maka sesungguhnya negeri ini yang runtuh," ujar Anies Baswedan, sahabat TL yang mengikuti persidangan dari awal.

Kasus ijazah palsu sang mantan juga membuat banyak orang tak percaya lagi pada hukum. Why...?

Karena dari awal tak ada keterbukaan pihak kepolisian yang menangani kasus ini, maupun dari sang  mantan yang jika mau jujur, tinggal menunjukkan ijazah asli saja, persoalan akan selesai. Clear, yang memfitnah bisa masuk penjara, dan yang merasa difitnah bisa meminta pengembalian nama baik, atau bahkan menggugat balik.

Jadi ga perlu heboh se-indonesia, gak ada ghibah massal di medsos, dan gak ribet urusannya. Sang mantan bisa tidur nyenyak di masa pensiunnya. Sang penggugat ijazah juga tak harus wara wiri untuk membuktikan kebenaran yang ia yakini. Seperti yang dicontohkan eks Presiden AS, Barrack Obama. Ketika Obama disangsikan lahir di Amerika, ia langsung menunjukkan akte kelahirannya, dan setelah itu clear. Tak ada lagi yang berani menggugat "keamerikaanya". Ia pun melenggang mulus ke kursi presiden AS. Pesan moral dari Obama ini adalah, sesungguhnya yang dituntut rakyat dari seorang pemimpin adalah kejujuran dan integritas.

Karena kasus ijazah sang mantan ini di mata masyarakat, tidak  sekedar tentang teori  "Actori incumbit probatio" (siapa yang mendalilkan, dia yang harus membuktikan), seperti kata-kata pakar hukum yang hebat itu. Ini lebih tentang kejujuran, tentang moralitas seorang pemimpin.

Dalam skala kasus di Riau, kasus dugaan korupsi  SPPD fiktif  Sekretariat Dewan DPRD Riau TA 2020-2021 adalah contoh runtuhnya kepercayaan masyarakat. Kasus yang melibatkan mantan orang nomor satu di Pekanbaru, Muflihun ini,  katanya bakal banyak menyeret nama-nama pejabat teras di Riau, dan pejabat pusat yang dulu bertugas di Riau. Diduga kasus ini berjalan lambat dan sengaja "dipetieskan" tersangkanya, karena bisa "mengguncang" tanah Riau, jika dibeberkan secara terbuka, tanpa ditutupi. Apa lagi Muflihun sebagai tokoh sentral dalam kasus ini tak ingin dikorbankan sendiri, ia mengancam akan menyebut semua nama penikmati aliran uang yang diduga haram tersebut.

Ancaman Muflihun bagai dilema bagi polisi. Disisi lain korp coklat  ingin mengungkap kasus yang sudah terang benderang ada indikasi korupsinya. Ditambah lagi  publik terus mendesak penyidik untuk bekerja profesional. Namun di lain hal, tekanan kekuasaan dan politik begitu kuat, hingga polisi tak lagi profesional. Ini, tentu preseden buruk bagi penegakan hukum.

Keadaan ini mengkonfirmasi bahwa penegakan hukum di negeri kita masih tebang pilih. Satu kasus mendapat prioritas sampai vonis, satu lagi diabaikan dan diperlakukan berbeda, terutama jika melibatkan pihak-pihak yang berpengaruh dan berkuasa.

Menurut saya, ini terjadi karena rendahnya integritas penegak hukum, lemahnya pengawasan terhadap kinerja aparat hukum, serta kuatnya tekanan politik dan ekonomi, yang akhirnya membuat produk hukum kita jadi sulit dipertanggungjawabkan kebenaran dan keadilannya. Sulit melepaskan diri dari konspirasi jahat.

Jadi, jangan salahkan masyarakat jika kepercayaan pada hukum sudah runtuh, selama hukum masih jadi alat transaksional. Kecuali, aparat hukum di negri ini  mau belajar dari Feby Putri, tak ingin lagi memanipulasi hukum, apalagi memanipulasi hati nurani, agar kepercayaan masyarakat tak selamanya runtuh.*

#Nasional

Index

Berita Lainnya

Index