Bung Hendry, Anda Telah Membuat Sejarah

Bung Hendry, Anda Telah Membuat Sejarah
Dimas Supriyanto, mantan wartawan Pos Kota (foto: istimewa)

Oleh DIMAS SUPRIYANTO 

SAYA yakin kita sudah sama sama mahfum, bahwa dalam tradisi pers kita, lazim terjadi perang pena, tukar opini dan ‘berbalas pantun’  -  terkait topik tertentu yang menyangkut kepentingan publik atau organisasi. Dalam hal ini semoga tak mengurangi rasa hormat saya pada Anda selaku jurnalis senior media besar, Surat Kabar Harian KOMPAS,  yang telah lama aktif sebagai pengurus Dewan Pers, PWI Pusat dan kemudian terpilih sebagai Ketum PWI di Kongres Bandung, pada September 2023 lalu.

Saya awali dengan bantahan Anda terkait sebutan dari saya,  bahwa Anda kini ‘sendirian’. Saya berharap Bung Hendry tahu, bahwa penyebutan ‘sendirian’ adalah kiasan dari posisi Anda yang telah ditinggal oleh teman teman jurnalis senior yang dulu bersama sama ke Istana Negara saat menghadap Presiden Jokowi.

Anda telah ditinggal oleh teman teman seperjuangan yang membantu Anda di Kongres PWI XXV di Bandung.

Boleh jadi ada seribu wartawan di belakang Anda saat ini, mendukung kursi dan jabaran yang Anda pertahankan saat ini. Tapi tidak dengan teman teman seperjuangan Anda; kawan karib yang puluhan tahun bersama, dan membantu pencalonan Anda di  Kongres PWI di Bandung yang mengempiskan suara Atal S. Depari dan menggembungkan perolehan suara untuk Anda. Padahal, tanpa peran mereka, mustahil Anda menang dan duduk di Ketum PWI Pusat saat ini. Dan Anda kini mengabaikan itu.

Sebagai jurnalis, tentulah, saya bekerja dalam basis fakta dan data ("fakta itu suci" kata Pak H. Rosihan Anwar alm., senior kita semua). Akan tetapi kita juga punya kemampuan berasumsi dan sah untuk merangkai informasi  dan  rekontruksi fakta fakta yang terkumpul dari berbagai sumber kredibel - sebagai gambaran peristiwa yang terjadi.  

Asumsi bukan khayalan dan bukan fiksi. Karena ada logika di sana. Ada bukti dan jejak material juga sebagai pendukungnya. Tidak sesuai fakta bukan berarti fiksi. Tidak sesuai fakta bisa jadi lantaran beda sudut pandang, beda persepsi,  beda peristiwa,  karena ada pengungkapan fakta dari versi lain.

Menulis fiksi adalah disiplin kerja profesi yang lain lagi, kita sama sama tahu. Anda juga editor untuk karya fiksi - menyunting kumpulan cerpen wartawan - sembari tetap bekerja sebagai perangkai fakta dalam reportase serta penyusunan opini untuk artikel - selayaknya wartawan senior.

Andai pun keliru, fakta fakta yang saya rangkai dan tulis, tidak mengubah esensi peristiwa skandal yang memalukan di PWI Pusat itu.

Bahwa dari kesepakatan Rp.6 miliar, dana sponsorship BUMN untuk UKW, telah disetor ke rekening PWI sebesar Rp 4,6 Miliar. Lalu, Rp1,5 Miliar digunakan untuk UKW di 10 provinsi. Lalu, dikeluarkan untuk ‘cash back’  kepada orang BUMN Rp 1,080 miliar selain ditransfer juga sebagai ‘fee’ untuk orang yang dianggap berjasa meng-goal-kan bantuan BUMN tersebut sebesar Rp.691 juta.

Akan tetapi, setelah dikonfirmasi, ⁠Kementerian BUMN menyatakan bahwa tidak satu pun yang menerima ‘cash back’ dari PWI. Padahal, uang dari rekening PWI sudah keluar Rp 1,080 miliar untuk itu, sedangkan pihak BUMN membantah menerima. Lalu, kemana larinya uang itu?

Informasi yang saya dapat, proses pencairan dana sponsor yang masuk di rekening PWI itu tanpa sepengetahuan Bendahara Umum, melainkan dikerjakan Wakil Bendahara. Kemudian dipotong dan diselewengkan untuk ‘cashback’ dan ‘fee’  yang sudah diambil dari rekening bank tanpa sepengetahuan Bendahara Umum, meski kemudian dikembalikan lagi.

Tentang itu sudah diakui Anda sendiri,  Bung Hendry. Dan ada bukti kwitansinya juga.  Dalam logika moral dan hukum  pengambilan itu sudah terjadi. Ada "mens rea"  atau niat jahat di sana.

Bahwa audit independen yang Anda sampaikan kemudian membuktikan “bersih”, tentulah lantaran dana yang diambil sudah dikembalikan. Tapi mengembalikan dana yang diambil, dalam konteks pidana maupun etika moral, tak menghapus peristiwa dan pelanggarannya. Pengembalian uang dianggap sekadar itikad baik untuk mengurangi sanksi dan hukumannya. Untuk  bagian ini, mahasiswa fak. hukum semester awal pun paham.

SAYA SETUJU bahwa Bapak Presiden Jokowi penuh atensi pada insan pers. Mari kita sama sama membantah bahwa Presiden Jokowi anti pers, membatasi pers, mengurangi peran pers dan memandulkan demokrasi. Sebab, Presiden Jokowi lah yang memerintahkan Menteri BUMN Erick Thohir sehingga PWI Pusat mendapat transfer dana fantastis - terbesar dalam sejarah yang dicairkan untuk kepentingan wartawan.

Saya di pihak Anda dalam hal ini.

Akan tetapi tentang ‘cashback’ dan ‘fee’ adalah pasal yang lain lagi. Para Senior di Dewan Kehormatan - yang diketuai Sasongko Tedjo (Ketua Dewan Kehormatan) dan Wina Armada (sekretaris) dan Uni Z Lubis, yang melobby Erick Thohir keberatan. Itu pelanggaran, bukan saja secara organisasi, melainkan juga dari sisi etik dan moral.

Andaipun “tradisi” atau kebiasaan  tersebut sudah berlangsung bertahun-tahun, seharusnya Anda mencegahnya,  bukan mengikuti arus. Bukan meneruskan jalur yang merusak integritas / martabat.

ESENSI kepemimpinan adalah perubahan, Bung Hendry. Jika tak ada perubahan dalam organisasi yang Anda pimpin, maka Anda bukan pemimpin - melainkan administratur. Sekadar menjalankan roda organisasi. Itu namanya ‘BaU’ :  "Business as Usual". Tak ada inovasi, terobosan dan kejutan - dalam arti yang positif.

Ada gambaran sederhana tentang ‘cashback’ dan ‘fee’ yang bermasalah di PWI Pusat itu. Dalam penyelenggaraan event, tradisi pemberian ‘cashback’ dan ‘fee’ sudah menjadi kewajaran - tahu sama tahu -  dari sistem "marketing" di lapangan, di belakang panggung - untuk oknum pihak sponsor dikarenakan telah berjasa mencairkan dana besar pada event yang diselenggarakan. Dan itu luar kontrak kesepakatan kompensasi ‘space’,  logo dan penyebutan nama ‘brand’ di tengah acara, selayaknya praktik ‘sponsorship’.

Tapi kita sama sama tahu itu :  ilegal.

Para oknum pejabat negara yang memiliki kuasa pengguna anggaran juga meminta atau menerima ‘cashaback’ dari kontraktor swasta - demi mendapatkan proyek dari negara. Namun, saat OTT-KPK mereka kena pasal gratifikasi - baik pihak yang memberi maupun menerima.

Terlebih lagi,  dana dari Humas BUMN dan dari Istana Negara, proses pengajuannya disaksikan bersama para senior PWI kepada Presiden RI - sebagai hasil dari lobby bersama dan pendekatan politik, untuk kepentingan organisasi dan profesi. Sehingga ada masalah di situ. Karena, sudah ditegaskan,  tak perlu ada ‘cashback’ dan ‘fee’ untuk itu!  Terlebih lagi, angka-angkanya sangat fantastis!

Dan saya menerima info, Anda sudah menyiapkan SK peruntukannya sembari melempar bangkai kepada pemberi sponsor - seolah olah mereka meminta ‘casback’  dan Anda harus menyiapkan.  Itulah rangkaian “fiksi” yang kemudian Anda bikin.

⁠Siapa orang yang tanda tangannya ada di tanda terima ‘cash back’ Rp 540 juta pada akhir Desember dengan huruf awal G di tanda tangan? Kemana larinya ‘cash back’ Rp 540 juta pada 13 Februari dengan tanda terima yang ditandatangani Sekjen PWI tersebut?

Sekali lagi, ini soal moral dan etika.

Ketika Anda menegaskan, bahwa kerja di PWI tidak boleh mengharap gaji  (melainkan pengabdian.pen) - apakah tidak bergaji berarti boleh “mendodos karung beras”  bantuan atau diam diam “menyisipkan selang ke tanki minyak”  kiriman Humas BUMN itu?

Bung Hendry, lupakah Anda dalam briefing kepada jajaran pengurus baru di Kantor PWI Pusat, Gedung Dewan Pers, Lantai 4, Jakarta Pusat, pada Selasa  (10/10) siang?

Selaku Ketua Umum PWI Pusat yang baru, Anda mengingatkan seluruh jajaran pengurus pusat dan daerah untuk berkomitmen mematuhi seluruh aturan organisasi dan peraturan perundang-undangan, yaitu Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga (PD PRT), Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Kode Perilaku Wartawan ( KPW). Sebab, semua pelanggaran itu akan mendapatkan sanksi sesuai aturan organisasi.

Selain itu, Anda menegaskan, wartawan harus mematuhi UU Pers 40/1999, dan seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara kita. “Kepatuhan pada semua aturan itu yang akan membuat kita mendapat pengakuan masyarakat sebagai wartawan professional dan berintegritas,” demikian Anda menegaskan.

Bung Henry, tidak sadarkah Anda telah menerima peringatan keras dari Dewan Kehormatan PWI, lalu diberhentikan sebagai anggota PWI setelah dinilai melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Kode Perilaku Wartawan ( KPW). Ke-8 orang anggota Dewan Kehormatan PWI menetapkan keputusan bulat tak ada “dissenting opinion”

Kalau Anda menyebut Dewan Kehormatan tak ada kewenangan memberhentikan Anda sebagai Ketua Umum PWI yang dipilih oleh kongres, simaklah peristiwa di Komisi Pemilihan Umum (KPU) dimana Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang memberhentikan secara tetap Hasyim Asy'ari sebagai Ketua dan anggota KPU RI karena pelanggaran kode etik.  Juga peristiwa di MK di mana Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK MK) juga memberhentikan Ketua MK Anwar Usman.

Mengapa Majelis Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DK PP) bisa memberhentikan Ketua KPU ? Padahal dia dipilih oleh panitia seleksi (pansel), menjalani uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) di DPR RI (komisi II), kemudian dilantik dan disumpah oleh Presiden RI.  Mengapa bukan Presiden atau DPR RI yang memberhentikan Ketua KPU? Mengapa justru Majelis Kehormatan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DK PP) yang memecat Ketua KPU karena pelanggaran susila?

Begitulah posisi Dewan Kehormatan di PWI yang setara dengan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DK PP) dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK MK) - bisa memberhentikan Ketua Umum PWI yang melanggar etik.  

Langkah pemberhentian itu ditindak lanjuti PWI Jaya  dengan mencabut kartu Anda.  Dengan demikian Anda bukan lagi anggota PWI Jaya dan tentunya tidak berhak lagi memimpin organisasi PWI.

Bung Hendry, ini pertama kali terjadi dalam sejarah pendirian PWI sejak 9 Februari 1946,  ada seorang Ketua Umum PWI dipecat oleh Dewan Kehormatan. Dan motif pemecatan, sekali lagi,  adalah pelanggaran kode etik karena uang.  Pasal ‘cashback’ dan ‘fee’.  Dan Anda melawan.

Bung Henry Ch Bangun, Anda telah membuat sejarah di PWI Pusat! Sejarah Aib - dengan a besar! ***  

 

#Nasional

Index

Berita Lainnya

Index