OTT KPK: Kepala Daerah Berhenti Korupsi atau Sekadar Ganti Pola?

OTT KPK: Kepala Daerah Berhenti Korupsi atau Sekadar Ganti Pola?

Oleh Zulkarnain Kadir Pengamat Hukum dan Pemerhati Birokrasi

SETIAP kali KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT), publik kembali berharap: “Mudah-mudahan ini yang terakhir, semoga pejabat lain kapok.” Namun harapan itu berulang kali patah. Kepala daerah terus berganti, OTT terus terjadi, dan korupsi tetap hidup, bahkan semakin canggih.

Menurut data yang ada hingga penutupan akhir tahun 2025, tercatat lima kepala daerah tersandung kasus korupsi, terdiri dari empat bupati dan satu gubernur. Untuk Provinsi Riau, data selama ini menunjukkan sudah empat gubernur tersangkut kasus korupsi dan sekitar 20 bupati/wali kota. Belum lagi jika dilihat per eselon, dari eselon I hingga yang terendah pun banyak yang terjerat korupsi, khususnya di Provinsi Riau.

Kasus korupsi yang menjerat kepala daerah bukanlah hal baru. Berdasarkan laporan statistik KPK, dalam dua dekade terakhir setidaknya terdapat 34 gubernur dan 232 wali kota atau bupati yang melakukan tindak pidana korupsi, belum termasuk jajaran menteri dan pejabat lainnya.

Pertanyaannya sederhana: apakah dengan OTT KPK kepala daerah akan berhenti korupsi? Jawabannya jujur dan pahit, tidak. OTT memang menakutkan, tetapi tidak pernah mematikan niat. Ia hanya membuat korupsi berpindah cara. Dulu tunai, sekarang transfer. Dulu dilakukan sendiri, kini memakai orang kepercayaan. Dulu terang-terangan, kini dibungkus kebijakan dan izin.

Masalah utamanya bukan semata moral individu, melainkan sistem yang mendorong korupsi. Biaya politik yang mahal memaksa kepala daerah “balik modal”. Mahar partai, tim sukses, relawan, dan elite politik lokal semuanya menunggu balasan. APBD, proyek, jual beli jabatan, dan perizinan akhirnya menjadi ladang. Dalam sistem seperti ini, orang jujur justru tertekan, sementara yang licin bertahan.
Ironisnya, pengawasan di daerah sering kali lumpuh. Inspektorat berada di bawah kepala daerah.

DPRD sibuk tawar-menawar politik. Aparat penegak hukum ada di mana-mana, tetapi korupsi tetap subur. Bukan karena kurang lembaga, melainkan karena kekuasaan terlalu nyaman tanpa kontrol nyata.
OTT akhirnya hanya menjadi panggung akhir, bukan pencegahan. Publik disuguhi borgol, konferensi pers, dan headline, tetapi uang rakyat sudah habis lebih dulu. Efek jeranya lemah ketika hukuman ringan, remisi mudah, dan pelaku masih bisa kembali ke panggung politik.

Jika negara sungguh ingin menghentikan korupsi kepala daerah, maka:
transparansi anggaran harus dibuka penuh dan real time, pendanaan politik wajib direformasi, aset hasil korupsi disita total,
pengawasan daerah dibuat independen,
dan partai politik harus ikut bertanggung jawab, bukan cuci tangan.

OTT tetap perlu. Namun jangan kita berbohong pada diri sendiri. OTT bukan obat, melainkan hanya alarm.
Selama sistemnya busuk, kita hanya akan melihat wajah-wajah baru di balik rompi oranye. Rakyat pun kembali menjadi penonton. Menurut data yang sering diberitakan media, untuk menjadi gubernur dibutuhkan biaya politik lebih dari Rp100 miliar.

Semakin luas wilayah dan semakin banyak penduduk, biayanya kian besar. Untuk menjadi bupati atau wali kota, rata-rata diperlukan biaya hampir Rp30 miliar. Semakin luas dan padat wilayahnya, semakin besar dana yang harus dikeluarkan. Begitu pula untuk menjadi anggota legislatif. Ada cerita yang beredar jangan maju sebagai calon DPRD kabupaten/kota jika tidak memiliki dana awal sekitar Rp3 miliar.

Untuk DPRD provinsi sekitar Rp8 miliar, dan untuk calon DPR RI minimal Rp15 miliar. Sampai kapan OTT akan menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi? Sejak Reformasi 1998 yang mengusung agenda penghapusan KKN, praktik korupsi justru bukan semakin kecil, melainkan makin besar dan merambah semua lini. Kapan pemerintah benar-benar serius menghapus KKN dan segera mengesahkan Undang-Undang Perampasan Aset?

Melihat fenomena korupsi kepala daerah yang semakin subur, apakah Indonesia Emas 2045 benar-benar bisa tercapai? Yang ada justru kecemasan. Jangan sampai apa yang pernah diramalkan Prabowo benar-benar terjadi: jika tidak hati-hati mengelola negara ini, terutama dalam pemberantasan korupsi, Indonesia bisa bubar pada 2030. Nauzubillahi min dzalik.**

#Pemerintahan

Index

Berita Lainnya

Index