iniriau.com, PEKANBARU - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau mengambil langkah berat dengan memangkas Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) sebesar 30 persen bagi seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN). Kebijakan ini ditempuh setelah kondisi keuangan daerah mengalami tekanan signifikan, baik dari sektor Pendapatan Asli Daerah (PAD) maupun dana transfer yang menurun dari pemerintah pusat.
Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Riau, SF Hariyanto, mengakui keputusan tersebut bukan hal mudah. Ia menyampaikan permohonan maaf kepada para ASN dan keluarganya karena kebijakan ini akan berdampak langsung terhadap keseharian mereka. “Saya memahami beban yang ditimbulkan. Namun situasi fiskal kita mengharuskan adanya penyesuaian sementara,” ujar SF Hariyanto, Senin (17/11/2025).
Pemotongan TPP diterapkan untuk tiga bulan terakhir tahun ini—Oktober, November, dan Desember 2025—sebagai upaya mengendalikan belanja daerah. Menurutnya, seluruh unsur pemerintah harus turut menahan diri. “Dalam keadaan seperti ini, kita perlu saling menguatkan. Kita lakukan penghematan bersama demi keberlanjutan anggaran,” tambahnya.
Penurunan pendapatan Provinsi Riau semakin terasa setelah perubahan kebijakan opsen pajak kendaraan bermotor. Skema pembagian yang sebelumnya 70 persen untuk provinsi kini berkurang menjadi 40 persen, sementara porsi kabupaten/kota meningkat menjadi 60 persen. Kondisi ini membuat sumber PAD utama provinsi ikut melemah. “Perubahan formula ini langsung berpengaruh pada penerimaan kita. Pendapatan dari kendaraan bermotor tidak lagi sebesar sebelumnya,” jelasnya.
Di sisi lain, belanja pegawai—termasuk gaji dan TPP—telah mencapai 37 persen dari total APBD, melampaui batas maksimal 30 persen yang ditetapkan Kementerian Dalam Negeri. Dengan proyeksi pendapatan yang diperkirakan turun hingga Rp1,1 triliun pada akhir tahun, penyesuaian anggaran dinilai tidak dapat ditunda lagi. “Penurunan ini terlalu besar untuk diabaikan, sehingga langkah pengetatan harus dilakukan,” tegas SF Hariyanto.
Ia menekankan bahwa pemotongan TPP ini bersifat sementara dan dilakukan semata-mata untuk menjaga stabilitas keuangan daerah. “Saya berharap kebijakan ini bisa dipahami. Ketika pendapatan kita pulih, tentu akan ada peninjauan kembali,” tutupnya.**
