Oleh Dr Zulkarnain Kadir, SH.,MH (Pemerhati Korupsi Riau)
SUDAH lebih dari dua tahun berlalu sejak mencuatnya dugaan korupsi Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif di Sekretariat DPRD Provinsi Riau. Namun hingga kini, publik belum juga mendengar siapa yang bertanggung jawab secara hukum. Padahal, hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sudah jelas: kerugian negara mencapai Rp195,9 miliar.
Angka itu bukan sekadar besar tapi mencerminkan lemahnya pengawasan dan budaya integritas di lembaga legislatif daerah. Bayangkan, ratusan perjalanan dinas "ilakukan di atas kertas”, namun anggarannya mengalir ke rekening pribadi.
Menurut data yang ada hasil audit BPKP telah diserahkan ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Riau, Lebih dari 400 saksi sudah diperiksa. Aset-aset mewah seperti rumah, lahan, dan kendaraan juga ikut disita. Namun, penetapan tersangka belum juga diumumkan.
“Semua sudah cukup terang. Tapi publik belum melihat langkah konkret. Ada kesan kasus ini lamban."
Dari berita di berbagai media, menyebutkan bahwa gelar perkara sudah digelar di Bareskrim Mabes Polri. Waktu terus berjalan, dan rasa percaya publik mulai menurun karena entah kapan kasus ini akan tuntas.
Dalam proses penyidikan, ditemukan pengembalian dana hampir 20 miliar oleh sejumlah pihak yang terindikasi ikut menikmati uang perjalanan dinas fiktif. Angka itu hanya sekitar sembilan persen dari total kerugian dari audit BPKP.
Dugaan kuat, dana hasil SPPD fiktif ini tidak hanya berhenti di level staf. Beberapa sumber menyebut adanya peran struktural mulai dari pejabat bagian keuangan, bendahara, hingga mantan sekwan yang diduga ikut menandatangani dokumen perjalanan. Bahkan isunya, diluaran anggota dewan periode itu ikut menikmati uang 'haram' SPPD fiktif.
“Kalau perjalanan tidak dilakukan tapi SPPD dicairkan, itu berarti ada sistem yang rusak, dan difiktifkan.
Kasus SPPD fiktif ini bukan hanya soal uang, tapi tentang hilangnya kepercayaan publik terhadap lembaga wakil rakyat. DPRD seharusnya menjadi pengawas jalannya pemerintahan, khusus nya di internal nya sendiri yakni setwan. Masyarakat jadi bertanya-tanya apa peran pengawasan ekternal yg di lakukan dari BPK RI dan irjen depdagri yg biasa ikut memeriksa atau mengawasi pemerintahan di daerah.
KPK pun menyoroti Riau sebagai salah satu provinsi dengan resiko korupsi tinggi. Survei Penilaian Integritas (SPI) Tahun 2024 menempatkan Riau di peringkat ke-28 nasional, dengan skor hanya 62,83 stau kategori “rentan korupsi”.
Masyarakat kini menunggu kinerja Polda Riau untuk menuntaskan kasus SPPD fiktif tanpa pandang bulu. “Kalau uang rakyat ratusan miliar bisa hilang tanpa ada pelaku yang dihukum, apa artinya hukum bagi kita, yg katanya negara hukum?
Kasus SPPD fiktif di Setwan DPRD Riau menjadi cermin bahwa pemberantasan korupsi di Provinsi Riau belum benar-benar berjalan seperti harapan Presiden RI Prabowo Subianto. Audit sudah rampung, uang negara sudah jelas raib, tapi langkah hukum masih tertahan di persimpangan.
Publik hanya bisa berharap: jangan sampai keadilan dan kepastihan hukum ikut fiktif pula.**