iniriau.com, Pekanbaru – Dua mantan Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) di Sekretariat Bawaslu Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi pengadaan barang dan jasa tahun anggaran 2017-2018. Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor Pekanbaru pada Kamis (13/3/2025), majelis hakim menjatuhkan hukuman penjara bagi kedua terdakwa serta mewajibkan mereka membayar denda dan uang pengganti.
Eva Desi, yang menjabat sebagai Bendahara BPP dari September hingga November 2017, divonis 1 tahun penjara. Sementara Zulfi Nanda, yang menggantikannya dari November 2017 hingga Desember 2018, dijatuhi hukuman lebih berat, yakni 2 tahun penjara.
Selain hukuman badan, keduanya juga dikenai denda masing-masing Rp50 juta. Jika tidak dibayarkan, masa tahanan mereka bertambah 1 bulan. Eva Desi diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp150 juta, dengan sisa Rp35 juta yang harus dilunasi atau diganti dengan tambahan 3 bulan kurungan. Sedangkan Zulfi Nanda harus mengembalikan Rp260 juta, dengan ancaman 1 tahun penjara jika tidak mampu membayar.
“Kami masih pikir-pikir apakah akan menerima putusan ini atau mengajukan upaya hukum selanjutnya,” ujar Jaksa Penuntut Umum (JPU) Muhammad Ulinnuha saat dikonfirmasi.
Kasus ini juga menjerat mantan Sekretaris Bawaslu Inhu, Yulianto. Dalam sidang terpisah yang digelar sepekan sebelumnya, Kamis (7/3/2025), majelis hakim yang diketuai Salomo Ginting menjatuhkan vonis 4 tahun penjara kepada Yulianto.
Ia dinyatakan bersalah atas pelanggaran yang lebih berat, yakni menyalahgunakan wewenangnya untuk memperkaya diri sendiri, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Selain hukuman penjara, Yulianto juga dikenai denda Rp200 juta atau 2 bulan kurungan, serta wajib membayar uang pengganti Rp494.692.658. Jika gagal melunasi, ia harus menjalani tambahan hukuman 2 tahun penjara.
Kasus ini bermula dari pengelolaan anggaran Bawaslu Inhu pada tahun 2017-2018, saat lembaga tersebut masih bernama Panwaslu Inhu. Dari total pagu anggaran sebesar Rp18,58 miliar yang bersumber dari APBN dan APBD, realisasi anggaran mencapai Rp13,63 miliar, termasuk Rp2,35 miliar untuk pengadaan barang dan jasa.
Namun, dalam pelaksanaannya, ditemukan bahwa banyak transaksi yang dilakukan secara fiktif dan terjadi mark up anggaran. Bukti-bukti pengeluaran keuangan juga dibuat tidak sesuai ketentuan, yang pada akhirnya menyebabkan kerugian negara hingga Rp929.004.199.
“Ini menjadi peringatan keras bagi pejabat publik lainnya agar tidak menyalahgunakan jabatan mereka untuk kepentingan pribadi. Negara tidak akan mentoleransi tindakan yang merugikan keuangan rakyat,” tegas Ulinnuha.
Saat ini, baik pihak terdakwa maupun jaksa masih mempertimbangkan langkah hukum berikutnya. Sementara itu, kasus ini kembali menegaskan bahwa korupsi masih menjadi persoalan serius dalam pengelolaan dana publik, bahkan di lembaga yang seharusnya mengawasi jalannya demokrasi.**