Iniriau.com, Pekanbaru - Merasa banyak kejanggalan, Komisi IV DPRD Pekanbaru melakukan tinjauan lapangan ke transdepo yang berada di zona 1 yang berada di Jalan Labersa Kecamatan Bukit Raya Pekanbaru dan transdepo zona 2 di Jalan Haji Samsul Bahri Kelurahan Sungai Sibam Kecamatan Payung Sekaki, Kamis (27/02). Komisi IV DPRD Kota Pekanbaru, mencium aroma dugaan korupsi terkait lelang angkutan sampah yang dimenangkan oleh PT Ella Pratama Perkasa (PT EPP).
Kunjungan lapangan di pimpin oleh Ketua Komisi IV DPRD Pekanbaru Rois, didampingi Sekretaris Komisi IV Roni Amriel serta anggota komisi yakni Zulkardi, Roni Pasla dan Nurul Ikhsan.
Kejanggalan dan keanehan tersebut, dirasakan oleh politisi muda PDIP Pekanbaru yakni Zulkardi saat melakukan pengawasan di kedua zona tersebut. Tidak hanya izin, termasuk proses lelang angkutan sampah yang tidak sesuai dengan perjanjian kontrak yang diberikan Pemko Pekanbaru dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK).
"Mobil angkutan tidak sesuai dengan spek kontrak. Contohnya angkutan sampah dengan batas 5 tahun. Tapi hari ini, kita jumpai masih ada mobil angkutan yang tahun 2004. Saat lelang mobil dibuat tahun tinggi termasuk stnk tahun tinggi, begitu menang antara dokumen dan armada angkutan persampahannya tidak sesuai," ujar Zulkardi.
Termasuk kata dia, jumlah armada angkutan sampah. Di perjanjian kontrak harusnya sebanyak 60 unit namun kenyataannya di lapangan hanya 40 unit.
"Sementara 20 unit lagi ini fiktif dan tidak ada dari pihak PT EPP mengatasi masalah ini. Seperti adanya pembiaran," cetusnya.
Dilanjutkannya, pihak ketiga dalam hal ini PT EPP ternyata belum memenuhi izin analisis dampak lingkungan (amdal) yang harusnya dibuat saat perencanaan.
"Ini (izin) akan baru dibuat, seharusnya bisa berdiri dan beroperasi transdepo ini kalau ada izin nya. Sudah ada izinnya, ini justru beroperasi izin baru diurus. Tidak ada keseriusan. Ini menjadi pelanggaran berat," terangnya.
Di kontrak kata dia, transdepo adalah tempat sementara sebelum diangkut ke tempat pembuangan akhir. Dimana, dalam perjanjian sampah harus diangkut dalam waktu 24 jam sebelum menuju ke tempat pembuangan akhir (TPA).
"Tetapi kenyataannya, kita tanya di lapangan tadi sampai ada berbulan bulan sampah disana," katanya.
Pelanggaran berat lainnya, PT EPP selaku pengelola yang bertanggungjawab secara penuh, mengizinkan angkutan mobil-mobil mandiri membuang sampah ke transdepo. Diketahui, keuntungan yang didapatkan oleh PT EPP dari jumlah tonase.
"Harusnya tanggungjawab sumber sampah di masyarakat itu adalah PT EPP. Artinya disini ada penambahan tonase yang dibantu oleh angkutan mandiri sehingga memudahkan dari pihak ketiga untuk mengambil tonase yang dibantu oleh angkutan mandiri tadi," ungkapnya lagi.
Dengan kondisi itu. Timbul dugaan kerugian negara yakni adanya penambahan tonase sampah yang dibantu pihak mandiri dengan menggunakan pikap pribadi di sumber TPS dan memungut uang dari masyarakat.
Seharusnya, angkutan mandiri tidak boleh membuang sampah ke TPA dan ke transdepo. Tetapi hari ini dilegalkan dan dibuang ke transdepo.
"Kita melihat ada dugaan potensi kerugian negara yang di dalam angkutan sampah ini menjadi celah. Dan kita minta aparat penegak hukum melek juga melihat pengelolaan sampah kita hari ini," pinta Zulkardi. **