iniriau.com, Sumsel – Misteri penemuan mayat pria di bawah Jembatan Tol KM 326 Kayu Agung akhirnya terkuak. Korban yang bernama Paradila Sandi (39), seorang sopir truk asal Kuansing Provinsi Riau. Ia dibunuh oleh orang terdekatnya sendiri kernet yang seharusnya menjadi rekan di perjalanan, berinisial DS (37).
Kapolres Ogan Komering Ilir, AKBP Eko Rubiyanto mengungkapkan, penyelidikan intensif yang dilakukan tim Satreskrim membuahkan hasil hanya dalam beberapa hari. Pelaku berhasil diamankan saat bersembunyi di rumah ayah tirinya di Jelutung, Jambi.
“Motif pelaku murni karena sakit hati. Ada akumulasi emosi akibat perlakuan kasar korban,” jelas Kapolres dalam konferensi pers di Mapolres OKI, Kamis (15/5/2025).
Berdasarkan pengakuan, DS memukul korban menggunakan batang besi sepanjang 40 cm sebanyak tiga kali menyasar pipi kanan, kepala belakang, dan punggung. Setelah memastikan korban tak bernyawa, mayat dibuang ke bawah jembatan tol, sementara truk Hino bermuatan kosong ditinggalkan di KM 329.
Pelaku kemudian melarikan diri dengan menumpang kendaraan secara acak, bahkan sempat bermalam di rest area dan sempat mencari pekerjaan di Palembang dan Sungai Baung.
“Saya sempat coba cari kerja, tapi tidak ada hasil. Akhirnya saya kembali ke Jambi,” ujar DS dengan mata berkaca.
DS juga mengaku tekanan psikis menjadi alasan kuat di balik perbuatannya. Ia merasa terus disalahkan dan dihina sepanjang perjalanan, meski sudah berusaha bekerja dengan baik. “Apa pun yang saya lakukan tetap dianggap salah. Saya diam, masih juga dimarahi,” ungkapnya.
Penemuan jasad korban sendiri berawal dari warga bernama Alek Ruslan yang tengah mencari telur semut untuk pakan burung. Saat melintasi bawah jembatan, ia melihat sosok tubuh yang membuatnya sontak kaget. Warga segera melaporkan ke RT setempat, lalu diteruskan ke pihak kepolisian.
Jenazah kemudian dievakuasi dan dibawa ke RSUD Kayuagung untuk pemeriksaan visum. Dari hasil medis, ditemukan luka serius yang sesuai dengan pengakuan pelaku. Keluarga korban telah menjemput jenazah dan menolak dilakukan autopsi.
Kasus ini menjadi peringatan bahwa relasi kerja yang penuh tekanan emosional bisa berujung pada tragedi bila tidak ditangani dengan bijak.**