Oleh : Azmi bin Rozali
BEBERAPA hari terakhir, masyarakat Kota Pekanbaru dan Provinsi Riau digemparkan oleh temuan sebuah produk makanan yang diduga mengandung unsur daging babi, tetapi ironisnya justru mencantumkan label halal pada kemasannya.
Kasus ini tidak hanya menimbulkan kegemparan di ruang publik, tetapi juga mencederai rasa kepercayaan umat Muslim sebagai mayoritas di wilayah ini.
Riau bukan sekadar provinsi dengan persentase Muslim yang tinggi; ia adalah tanah yang bertumpu pada nilai-nilai keislaman dan budaya Melayu yang menjunjung kesucian halal-haram.
Dalam konteks ini, isu label halal bukan urusan sepele, melainkan menyangkut kehormatan agama, hak konsumen, dan tanggung jawab negara.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Pertanyaan besar pun menyeruak di tengah masyarakat: siapa yang menerbitkan label halal pada produk tersebut?
Dan lebih penting lagi, lembaga mana yang menguji kandungan produk tersebut hingga bisa kecolongan seperti ini? Dalam struktur negara hukum yang menjamin perlindungan konsumen dan kebebasan beragama, kejadian semacam ini semestinya mustahil terjadi.
Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) adalah lembaga yang berwenang menerbitkan sertifikat halal.
Namun prosesnya melibatkan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan fatwa halal ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Artinya, ada rantai koordinasi yang melibatkan banyak pihak dan semestinya saling mengawasi. Jika ada kecolongan, maka perlu ditelusuri di mana letak simpul yang rapuh itu.
Prof. Dr. H. Muhammad Quraish Shihab, seorang cendekiawan Muslim terkemuka, pernah menyatakan, “Label halal bukan sekadar simbol, melainkan jaminan keimanan.” Maka jika label halal itu palsu, artinya ada penipuan atas nama agama, dan itu bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan moral.
Relasi Halal dan Integritas Publik
Integritas label halal adalah bagian dari kontrak sosial dan keagamaan antara negara dan warganya. Dalam masyarakat seperti Riau, di mana agama menjadi pedoman hidup dan bukan sekadar identitas kultural, keberadaan label halal adalah hal fundamental. Ketika label tersebut dimanipulasi, maka yang dilukai bukan hanya lidah dan perut umat, tetapi hati dan akal mereka.
Dr. Tarmizi Tohor, mantan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Riau, mengingatkan, “Negara wajib hadir melindungi umat Islam dalam memastikan makanan yang mereka konsumsi benar-benar halal, bukan sekadar administrasi stempel.” Ia menekankan bahwa proses sertifikasi harus transparan, melibatkan uji laboratorium independen, dan akuntabel kepada publik.
Kementerian Agama melalui BPJPH memang telah mengambil alih peran utama dalam sertifikasi halal. Namun publik belum sepenuhnya percaya terhadap efektivitasnya, terutama setelah adanya polemik soal waktu, biaya, dan transparansi.
Di sisi lain, Lembaga Pemeriksa Halal yang berafiliasi dengan kampus atau ormas keagamaan juga harus mampu menjamin integritas dan kompetensinya.
Urgensi Pengawasan Independen
Kasus di Pekanbaru ini menunjukkan bahwa masih ada celah dalam sistem jaminan produk halal. Jika benar produk tersebut mengandung babi, maka lembaga yang menerbitkan label halal patut diperiksa secara hukum dan etis. Bahkan, perlu ada audit publik terhadap seluruh alur sertifikasi halal, mulai dari pengajuan, pengujian laboratorium, hingga penetapan fatwa.
Seperti diungkapkan oleh mantan sekretaris MUI Riau, KH. Zulhusni Domo, dalam sebuah wawancara lokal, “Label halal bukan boleh-boleh saja. Ia harus diawasi dengan mata iman dan ilmu.” Ia juga mengingatkan bahwa pelanggaran seperti ini bisa menciptakan ketidakpercayaan publik yang berbahaya bagi industri makanan halal nasional.
Lebih dari itu, perlunya keterlibatan perguruan tinggi, lembaga riset independen, dan ormas Islam lokal seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam proses pengawasan dan validasi label halal sangat penting untuk memperkuat sistem jaminan kehalalan produk. Tidak boleh hanya bergantung pada satu pintu birokrasi yang mungkin terkooptasi oleh kepentingan industri.
Keadilan bagi Umat dan Sanksi Tegas
Di tengah gempuran produk-produk impor, masyarakat Riau menaruh harapan pada negara untuk menjadi pengawal iman mereka, bukan sekadar regulator pasar.
Maka dari itu, pemerintah harus menunjukkan keberpihakannya melalui tindakan hukum terhadap produsen dan oknum yang terlibat. Tidak cukup dengan klarifikasi semata, tetapi harus ada penegakan hukum yang menciptakan efek jera.
Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur. Jika produk tersebut terbukti menipu label, maka pelakunya dapat dijerat pidana. Lebih lanjut, ini bukan semata pelanggaran hukum konsumen, tetapi juga penghinaan terhadap keyakinan agama.
Menjaga Marwah Negeri Melayu Islam
Riau, sebagai negeri Melayu Islam, memiliki marwah yang harus dijaga. Kasus ini tidak hanya mengancam kesehatan dan kepercayaan publik, tetapi juga mencoreng identitas religius yang selama ini dijunjung. Kita tidak boleh membiarkan kepentingan bisnis menunggangi prinsip halal yang suci.
Sudah saatnya masyarakat sipil, ormas keagamaan, media, dan kampus bersatu dalam menuntut transparansi dan perbaikan menyeluruh dalam sistem jaminan halal. Pemerintah, khususnya BPJPH, harus membuka ruang partisipasi publik, memperkuat komunikasi, dan menindak tegas setiap pelanggaran.
Karena di balik selembar label halal, ada harapan besar umat yang tak boleh dikhianati. ***
Penulis adalah coach dan trainer nasional pernah tiga periode menjabat anggota DPRD kabupaten Bengkalis 2004-2019.