Mencari Titik Keseimbangan Baru: Upah Layak dan Kelangsungan Dunia Usaha

Mencari Titik Keseimbangan Baru: Upah Layak dan Kelangsungan Dunia Usaha
Azmi bin Rozali (foto:net)

Oleh : Azmi bin Rozali

SETIAP 1 Mei, peringatan Hari Buruh Internasional menjadi refleksi tahunan atas situasi ketenagakerjaan nasional, termasuk di Provinsi Riau.

Momentum ini semestinya bukan sekadar seremoni, melainkan ajang evaluasi mendalam: sejauh mana negara hadir dalam memperjuangkan kesejahteraan buruh, dan seberapa adil kita meletakkan peta hubungan industrial di tengah dinamika ekonomi global yang terus berubah.

Upah Minimum: Antara Kenaikan dan Kebutuhan Riil

Pada tahun 2025, Pemerintah Provinsi Riau menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar Rp3.508.776, naik 6,5% dari tahun sebelumnya. Angka ini sedikit di atas rerata kenaikan upah minimum nasional. Di Kota Pekanbaru, Upah Minimum Kota (UMK) bahkan mencapai Rp3.451.584.

Kenaikan ini, secara formal, menunjukkan adanya sensitivitas terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Namun, di lapangan, mayoritas buruh mengeluhkan bahwa upah tersebut masih jauh dari mencerminkan kebutuhan riil.

Data nasional menunjukkan rata-rata upah buruh hanya sekitar Rp3,04 juta per bulan, sementara buruh berpendidikan rendah—yang mendominasi sektor informal di Riau—hanya menerima Rp1,92 juta. Jika dibandingkan dengan kebutuhan hidup layak, terutama di perkotaan, jurang ini semakin menganga.

Ironisnya, kenaikan upah minimum kerap tidak serta-merta mengoreksi ketimpangan kesejahteraan. Banyak pengusaha kecil dan menengah justru merespons dengan merekrut pekerja kontrak jangka pendek atau mengalihkan beban kerja ke sektor informal yang tidak terlindungi undang-undang ketenagakerjaan.

Paradoks Kesejahteraan dan Kelangsungan Usaha

Dalam teori hubungan industrial modern, relasi buruh dan pengusaha harus ditempatkan dalam kerangka simbiosis mutualisme. Buruh membutuhkan upah yang adil untuk hidup layak; pengusaha membutuhkan kelenturan biaya tenaga kerja untuk menjaga daya saing. Problematika ini, jika tidak diatur dengan cermat, akan menyeret dunia usaha ke dalam ketidakpastian, dan buruh ke dalam jurang eksploitasi.

Upah minimum yang terlalu rendah jelas melukai prinsip keadilan sosial. Sebaliknya, upah yang ditetapkan terlalu tinggi tanpa memperhatikan produktivitas dan struktur biaya usaha justru mengancam kelangsungan bisnis. Efek lanjutan berupa PHK massal, penurunan investasi, hingga perluasan sektor kerja informal adalah realitas yang harus diantisipasi.

Karena itu, kebijakan pengupahan tidak boleh semata-mata berbasis pendekatan normatif atau tekanan politik sesaat. Ia harus berbasis data produktivitas regional, standar kebutuhan hidup layak yang dinamis, dan kapasitas ekonomi riil dari dunia usaha di daerah tersebut.

Menuju Formula Baru: Negosiasi dan Transparansi

Sudah saatnya Indonesia, termasuk Riau, membangun model pengupahan yang lebih adaptif. Pertama, diperlukan skema negosiasi tripartit yang lebih inklusif, bukan sekadar seremoni. Buruh, pengusaha, dan pemerintah harus duduk setara, berbagi data yang valid tentang produktivitas dan biaya hidup, dan merumuskan angka upah minimum dengan rasionalitas ekonomi, bukan sekadar sentimen politik.

Kedua, perlu penguatan instrumen produktivitas sebagai basis penetapan upah. Negara harus mendorong investasi dalam pelatihan kerja dan pendidikan vokasional agar buruh mampu menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi, bukan sekadar menjadi korban dari persaingan biaya rendah.

Ketiga, penting adanya kebijakan insentif bagi dunia usaha yang secara konsisten memenuhi atau bahkan melampaui standar upah minimum. Sebaliknya, sanksi tegas bagi pelanggaran ketenagakerjaan harus ditegakkan tanpa pandang bulu.

Menjaga Iklim Investasi, Memuliakan Buruh

Peringatan Hari Buruh tahun ini harus dimaknai sebagai ajakan kolektif untuk menemukan titik keseimbangan baru: membangun dunia usaha yang kompetitif sekaligus memuliakan buruh sebagai subjek pembangunan, bukan sekadar alat produksi. Upah yang adil dan berkeadilan sosial bukan hanya hak buruh, melainkan juga fondasi bagi stabilitas ekonomi dan politik nasional.

Menciptakan keseimbangan antara upah layak dan kelangsungan dunia usaha bukan pilihan ideologis semata, melainkan keharusan moral dalam membangun bangsa yang adil, makmur, dan beradab. ***

Penulis adalah coach dan trainer nasional, pernah 3 periode menjabat anggota DPRD kabupaten Bengkalis 2004-2019.

#Pemerintahan

Index

Berita Lainnya

Index