MUNGKIN banyak yang tidak menyangka bahwa pakaian, handuk, sarung bantal sampai produk perawatan diri yang kita gunakan sehari-hari, bahan bakunya berasal dari pulp (bubur kertas) yang diproses menjadi serat rayon. Rayon tersebut kemudian diproses untuk kebutuhan industri tekstil, dan pakaian jadi berbagai brand ternama. Pulp rayon tersebut diproduksi oleh PT Asia Pasific Rayon (APR) di pabrik milik mereka di Pangkalan Kerinci.
"Pabrik kami di Pangkalan Kerinci berkapasitas 300.000 ton serat rayon. 52 persen diantaranya diekspor ke pasar global dan sisanya untuk memenuhi kebutuhan tekstil dalam begri," jelas Presiden Direktur PT APR Basrie Kamba, Senin (31/10/25).
Anak usaha PT Royal Golden Eagle (RGE) itu, sejak 2019 lalu memproduksi serat rayon sebagai bahan baku tekstil dan produk-produk fesyen. Berkat itu, Indonesia kini tercatat sebagai eksportir serat rayon terbesar kedua di Asia setelah Tiongkok.
Banyak brand-brand lokal dan dunia yang menggunakan serat rayon sebagai bahan baku fesyen mereka. Sifat bahannya yang ramah terhadap lingkungan, membuat rayon menjadi bahan baku yang sangat diminati di industri tekstil.
Pada fashion show atau peragaan busana yang digelar Senin (21/10) lalu, APR memperagakan busana rancangan disainer-disainer lokal Riau di atas catwalk. Pakaian berbahan baku viscose (rayon) tersebut diperagakan dengan apik oleh putra-putri Riau, mulai dari model casual, formal dan non formal, busana muslim sampai model vintage.

Presiden Direktur PT APR Basrie Kamba menjelaskan produksi rayon APR dan perannya dalam industri tekstil dunia. (Foto: Ina).
Salah seorang disainer pada peragaan busana tersebut, Tiffa mengatakan, produk fesyen yang ia disain berasal dari bahan serat rayon yang ramah lingkungan, dan menjadi salah satu bahan tekstil yang paling disukai para disainer.
"Bahan rayon ini ringan dan lembut, sangat cocok untuk kebutuhan orang Indonesia yang beriklim tropis. Kemampuan daya serapnya tinggi sehingga nyaman saat dipakai, dibandingkan bahan lainnya," jelas Tiffa.
Karena itu disainer muda ini lebih banyak memakai bahan rayon dalam membuat busana hasil rancangannya. Selain ingin mendukung bahan baku yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, secara kualitas rayon juga lebih baik. Karena serat rayon berasal dari bahan mudah terurai.
"Dengan menggunakan serat rayon yang diproduksi APR sebagai bahan baku pakaian, berarti kita telah ikut mendukung konsep berkelanjutan dalam industri tekstil dan fesyen di tanah air," ujar Tiffa.
Tiffa adalah salah satu disainer Riau yang dibina dan didukung oleh APR dalam memproduksi dan mempromosikan rancangan yang ia buat untuk dipamerkan di tingkat nasional.
Ia mengapresiasi APR yang telah memberi banyak kesempatan pada disainer Riau untuk mementaskan karya-karya mereka di tingkat nasional, sehingga UMKM fesyen bisa tumbuh dan berkembang.
"Terima kasih untuk support penuh dari APR kepada kami para disainer dan UMKM. Berkat APR kami bisa berkarya di tingkat nasional. Apa lagi produk yang kita peragakan di acara fashion week dan pameran, biasanya selalu habis terjual," ujar Tiffa.

Presdir PT APR Basrie Kamba dan Head of Corporate Communication RAPP Aji Wihardandi foto bersama disainer, usai peragaan busana. (Foto lna).
Dari Pangkalan Kerinci untuk Dunia
Presiden Direktur PT APR, Basrie Kamba pada acara APR Media Workshop, Senin (21/10) tersebut kembali mempertegas komitmen APR sebagai produsen bahan baku tekstil yang mengutamakan bahan baku berkelanjutan dan terbarukan.
"Kami berkomitmen pada sumber bahan baku yang berkelanjutan, dan pabrik yang efisien. Disamping itu kami juga meperhatikan kehidupan masyarakat di sekitar area operasi dengan terus menekan angka kemiskinan," ujar Basrie Kamba.
Viscose atau rayon dihasilkan dari bahan serat kayu alami yang terbuat dari 100% selulosa kayu yang dapat terurai secara alami. Sehingga dengan sifat serat yang dimilikinya, rayon bisa menjadi alternatif bahan baku tekstil yang ramah lingkungan, dan yang terbaik untuk industri fesyen saat ini.
APR tidak menggunakan hutan alami, melainkan perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang ditanam sendiri, dan dikelola dengan kebijakan pengelolaan hutan berkelanjutan (Sustainable Forest Management Policy). Mulai dari proses pembibitan, penanaman pohon, perawatan hingga panen dan diolah menjadi pulp, kapas, benang dan serat rayon, semua diproduksi di Pangkalankerinci. Ini mengantarkan APR menjadi produsen rayon viscose pertama di Asia yang terintegrasi dari perkebunan (plantation) hingga serat rayon.
"Dari plantation untuk fasyen, dari pangkalan Kerinci untuk dunia. Dari sebuah kampung kecil dulunya, Pangkalan Kerinci kini menjadi salah satu awal bertumbuhnya industri fesyen dunia," ujar Basrie Kamba.
.jpeg)
Dan sinilah, ribuan hektar kebun HTI milik PT RAPP ini industri fesyen dunia berawal. (Foto : lna)
Dengan kapasitas pabrik yang begitu besar, pabrik APR menjalankan aktifitas produksi viscose rayon yang bersih dan selalu menjalankan kegiatan manufaktur terbaik.Terutama dalam pengurangan efek gas rumah kaca (GRK), pemulihan karbon disulfida (CS2), dan pengelolaan air limbah yang sejalan dengan praktik-praktik industri terbaik, ujar Basrie.
Secara bertahap, APR juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi warga tempatan dalam radius 50 kilometer dari wilayah operasionalnya. Dengan merekrut tenaga kerja tempatan sebagai pekerja, menyediakan peluang-peluang usaha khususnya di perkebunan HTI, serta lewat program-program CSR atau Corporate Social Responsibility di bidang ekonomi, kesehatan, infrastruktur pendidikan dan sosial budaya.
"Secara bertahap kami mengurangi angka kemiskinan penduduk tempatan lewat berbagai program," ujar Basrie.
Saat ini APR memasok sekitar 52 persen kebutuhan tekstil dunia yang diekspor ke berbagai negara. Tingginya ekspor rayon APR ini sekaligus mengukuhkan posisi Indonesia sebagai produsen viscose-rayon terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok.
Sayangnya, serbuan produk-produk murah dari China serta pakaian-pakaian bekas dan produk ilegal yang masuk ke Indonesia, perlahan tapi pasti akan membunuh posisi Indonesia sebagai produsen rayon terbesar. Itu terjadi jika Pemerintah Indonesia tidak segera membatasi impor produk-produk fesyen tersebut dan menyetop masuknya pakaian-pakaian bekas.
"Tantangan kita ke depan adalah produk-produk murah dari Cina, serta masuknya pakaian bekas dan produk fesyen ilegal ke Indonesia, yang saatnya nanti bisa mengancam posisi Indonesia sebagai eksportir serat rayon, jika Pemerintah tidak segera membatasinya," ingat Basrie.
"Bayangkan, pakaian bekas yang jelas-jelas mengganggu kesehatan, yang sebenarnya sama dengan sampah, dikenakan oleh sebagian rakyat kita. Kalau ini tidak dibatasi bahkan dihapus, bisa jadi ancaman untuk industri tekstil Indonesia. Belum lagi masuknya produk-produk murah dari China. Mereka itulah sebenarnya kompetitor kita. Pemerintah harus tanggap dengan keadaan ini," tegas Basrie.
Menjadikan penduduk tempatan mitra bisnis
Lahan HTI RAPP berjumlah sekitar 338. 536 hektar. Dari perkebunan HTI inilah pulp serat rayon APR diproduksi. Setiap tahunnya RAPP yangjuga satu grup dengan PT APR, menanam 300 juta bibit pohon akasia dan eucalypthus sebagai bahan baku pulp dan rayon. Dari perkebunan (plantation) ini RAPP memanen sekitar 80.000 sampai dengan 90.000 ribu hektar akasia dan eucalypthus setiap tahun.
Kayu-kayu tersebut dibawa ke pabrik di Pangkalan kerinci untuk diproses menjadi bubur kertas, dan bahan baku serat rayon. Dari aktifitas perkebunan HTI ini, ribuan pekerja bergantung hidupnya di sektor plantation ini. Dan mereka kebanyakan penduduk tempatan yang mengisi jabatan mulai dari jajaran managemen di setiap estate, sampai pekerja perkebunan.
Salah satu kontraktor plantation HTI Grup RAPP, PT Tata Cipta Lestari (TCL) mengakui bahwa tenaga yang ia rekrut bukan semata ditempatkan sebagai pekerja, melainkan lebih pada rekan bisnis atau mitra kerja. Untuk mengerjakan penanaman, perawatan dan panen yang jumlahnya ratusan hektar, PT TCL mengangkat warga sekitar menjadi ketua rombongan (KR) yang memimpin puluhan pekerja.
Tugas para KR untuk mengawasi pekerjaan di lapangan. Antara PT TCL dan KR berlaku sistem bagi hasil dengan persentase.
"Jadi kita dengan para KR itu berbisnis dan setara, bukan antara kontraktor dengan karyawan. KR mengkoordinir dan mengawasi pekerjaan di lapangan. Persentase bagi hasil terkadang lebih besar mereka, tergantung negosiasi," ujar Direktur PT TCL, Zulkarnaini di tempat terpisah, Kamis (31/10/24).

Para pekerja perkebunan HTI ini adalah penduduk sekitar operasional. Mereka tidak hanya jadi pekerja, tetapi juga mitra perusahaan. (Foto: lna)
Dengan sistem "bisnis" itu, banyak penduduk setempat yang terangkat ekonominya. Dari awalnya sebagai pekerja, kemudian banyak yang menjadi KR. Mereka ada yang membawahi puluhan bahkan pekerja plantation, bahkan ada yang jumlahnya ratusan pekerja di lapangan. Para KR ini mengelola sendiri keuangan mereka, termasuk membayarkan gaji pekerja mereka.
"Siklus itu terjadi di semua estate HTI RAPP. Otomatis terjadi perputaran keuangan di perkampungan, dan itu dinikmati oleh warga setempat. Ada yang sekarang sudah punya truk sendiri untuk disewakan ke pihak perusahaan, ada yang memasok sembako untuk kebutuhan pekerja dan keluarganya, bahkan ada yang memiliki perusahaan sendiri dan menjadi rekanan dengan pihak perusahaan. Bagi penduduk yang rajin dan mau bekerja keras, sebenarnya banyak sekali peluang usaha di estate-estate kebun HTI RAPP ini," jelas Zulkarnaini.
Aktifitas HTI RAPP di seluruh estate di Riau berhasil menciptakan perkampungan dan pertumbuhan ekonomi baru. Di dalamnya hidup para pekerja HTI dan keluarganya, serta karyawan perusahaan dan kelarganya. Sektor-sektor riil dan fasum di kecamatan terus tumbuh, mulai pasar, kantin, klinik kesehatan, sekolah dan sebagainya.
"Kami para rekanan ini hanya menjalankan kebijakan PT RAPP untuk ikut menggerakkan roda ekonomi di wilayah-wilayah operasional mereka, dan kita para rekanan sangat setuju," ujar Zulkarnaini.*