Penulis : Rahmat Handayani
Ketua forum pemimpin redaksi (FPR) Riau
PROVINSI Riau selama ini dikenal sebagai salah satu daerah terkaya di Sumatera. Sumber daya alamnya melimpah: minyak bumi, gas, perkebunan sawit, industri kertas, hingga perdagangan yang terus tumbuh. Namun ironinya justru menampar wajah generasi mudanya. Di atas tanah yang kaya, banyak anak muda Riau justru menganggur, tersisih, dan tak kunjung mendapatkan ruang kerja yang layak.
Masalah ini bukan sekadar cerita personal atau keluhan emosional. Ini adalah gejala struktural yang sudah lama dirasakan masyarakat luas. Mulai dari lulusan SMA hingga sarjana, banyak yang harus mencari kerja ke luar provinsi, atau bekerja jauh di bawah kualifikasi, hanya karena perusahaan di Riau tidak memberi mereka kesempatan.
Ketua Forum Pemred (FPR) Riau, Rahmat Handayani, secara tajam menyoroti fenomena ini. Menurutnya, ada pola yang mengakar di sejumlah industri besar Riau: perusahaan baik skala multinasional maupun nasional lebih sering menggunakan tenaga kerja dari luar daerah.
“Banyak perusahaan di Riau memakai tenaga kerja dari luar Riau. Ini fakta. Dan selama pemerintah daerah tidak memperketat aturan, anak-anak muda lokal akan terus kalah di rumahnya sendiri,” tegas Rahmat.
Jika melihat data pertumbuhan ekonomi Riau dalam beberapa tahun terakhir khususnya sektor industri pengolahan dan perkebunan Riau sebenarnya mengalami ekspansi positif. Namun pertumbuhan itu tidak paralel dengan peluang kerja bagi tenaga lokal.
Salah satu masalah utama adalah ketimpangan akses. Banyak perusahaan besar lebih nyaman mendatangkan tenaga kerja dari luar daerah karena:
1. Jaringan rekrutmen mereka sudah terbangun di Jawa dan luar Sumatera.
2. Vendor outsourcing yang mereka gunakan berbasis di luar Riau.
3. Tenaga kerja luar dianggap “lebih terlatih” karena latar pelatihan vokasi yang lebih kuat.
Namun di sisi lain, perusahaan mengabaikan potensi anak-anak Riau yang sebenarnya mampu jika saja diberikan pelatihan, akses sertifikasi, dan kesempatan yang adil.
Ketika anak Riau tidak bisa masuk ke industri di daerahnya, maka masalah sosial lain otomatis bermunculan:
• Pengangguran usia muda naik.
• Urbanisasi ke Pulau Jawa meningkat.
• Banyak pemuda akhirnya bekerja tidak sesuai passion atau ilmunya.
• Muncul rasa tidak percaya pada pemerintah dan pelaku industri.
• Distribusi kesejahteraan menjadi timpang: industri untung, masyarakat lokal tak kecipratan. Inilah ironi paling terasa: Riau kaya, tetapi anaknya miskin akses.
Sering kali alasan klasik yang muncul dari perusahaan adalah “anak lokal kurang kompeten”. Namun pertanyaan kritisnya: kompetensi versi siapa?
Banyak perusahaan menuntut keterampilan teknis tinggi, sementara pemerintah daerah dan dunia pendidikan belum menyiapkan ekosistem yang memadai. Pendidikan vokasi di Riau masih tertinggal dibanding provinsi industri seperti Jawa Barat atau Jawa Timur.
Namun menyalahkan anak muda saja tentu tidak adil. Sebab permasalahan ini tidak muncul dalam ruang hampa. Ia terbentuk dari:
• Kebijakan pemerintah daerah yang lemah dalam mengatur prioritas tenaga lokal.
• Dunia pendidikan yang belum berkolaborasi dengan industri.
• Perusahaan yang lebih memilih “jalan mudah” dengan merekrut pekerja dari luar, ketimbang membina SDM daerah.
Rahmat Handayani menegaskan bahwa narasi “anak lokal tidak kompeten” adalah salah satu stereotip yang harus dipatahkan.
“Tanggung jawab peningkatan kompetensi itu harus dibagi. Pemerintah daerah harus kuat. Dunia usaha wajib terlibat. Dan anak muda harus upgrade skill. Jangan biarkan satu pihak saja yang disalahkan.”
Dalam banyak kasus ketenagakerjaan, pemerintah daerah seharusnya bisa tegas. Ada daerah di Indonesia yang memberikan syarat ketat: minimal 60–70% tenaga kerja lokal. Namun di Riau, regulasi semacam ini masih longgar atau tidak diawasi dengan benar.
Akibatnya:
• Banyak perusahaan bebas merekrut dari luar daerah.
• Pengawasan terhadap vendor dan agen rekrutmen sangat lemah.
• Tidak ada audit terbuka tentang berapa persen tenaga kerja lokal yang terserap di tiap perusahaan.
• Perusahaan besar tidak berkewajiban memberikan laporan publik mengenai kontribusi mereka terhadap SDM lokal.
Kelemahan regulasi ini membuat anak-anak Riau berada dalam posisi rentan bahkan di kota mereka sendiri.
Apa Solusinya? Reformasi Ketenagakerjaan yang Berpihak pada Anak Negeri
Ada beberapa langkah strategis yang harus segera ditempuh jika Riau tidak ingin terus tertinggal dalam pembangunan SDM-nya sendiri:
1. Pembentukan Perda Ketenagakerjaan Lokal yang lebih tegas dan mengikat.
2. Audit tenaga kerja secara berkala pada setiap perusahaan besar.
3. Program pelatihan vokasi dan sertifikasi berbasis kebutuhan industri.
4. Wajib magang bagi mahasiswa dan lulusan baru di perusahaan Riau.
5. Kolaborasi kampus industri pemerintah secara sistematis.
6. Akses pelatihan murah atau gratis bagi pemuda Riau.
Pemerintah, Perusahaan, dan Generasi Muda Harus Bergerak Bersama
Persoalan sulitnya anak Riau mendapatkan pekerjaan bukanlah kesalahan satu pihak. Namun yang jelas, sistem saat ini tidak cukup adil. Pemuda Riau membutuhkan perlindungan kebijakan, jaminan akses, serta dukungan pendidikan. Industrialisasi Riau tak boleh hanya menguntungkan perusahaan, tetapi harus mengangkat martabat masyarakat lokal. Jika tidak, maka generasi muda Riau hanya akan menjadi penonton di negeri yang justru kaya oleh sumber daya leluhur mereka.**