Oleh: Zulkarnain Kadir, Pengamat hukum dan Birokrasi
ANGGARAN penanggulangan bencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau yang tercatat sebesar Rp20 miliar untuk satu tahun dinilai belum memadai untuk menghadapi skala ancaman bencana di wilayah tersebut. Dengan luas wilayah terbesar kedua di Sumatra dan populasi lebih dari tujuh juta jiwa, Riau berada pada kategori provinsi dengan risiko bencana tinggi, terutama banjir serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Data kebencanaan menunjukkan bahwa setiap tahun Riau berhadapan dengan banjir besar, kiriman air dari Sumatra Barat dan Sumatra Utara, hingga karhutla yang kerap menimbulkan kabut asap. Penanganan dua jenis bencana ini membutuhkan biaya besar, mulai dari logistik, operasional lapangan, hingga pemulihan bagi masyarakat terdampak.
Dengan angka Rp20 miliar tersebut, kebutuhan dasar operasional BPBD sebenarnya masih dapat ditutup, namun anggaran itu tidak memberikan ruang cukup untuk langkah-langkah mitigasi, kesiapsiagaan, dan rehabilitasi pascabencana.
Untuk provinsi sebesar Riau, dana Rp20 miliar itu hanya cukup untuk respons awal. Begitu terjadi karhutla skala sedang saja, apalagi banjir besar, anggaran tersebut langsung habis. Pemerintah daerah butuh minimal tiga hingga lima kali lipat untuk bisa lebih siap.
Sebagai perbandingan, operasi penanganan karhutla di Riau dalam beberapa tahun terakhir, termasuk dukungan dari pemerintah pusat, dapat menghabiskan Rp200–300 miliar. Sementara banjir besar di sejumlah kabupaten bisa menelan Rp20–40 miliar per kejadian.
Dengan kondisi geografis yang didominasi oleh lahan gambut, banyak daerah aliran sungai, serta ribuan desa yang rentan banjir dan kebakaran, Riau dinilai perlu menambah alokasi dana bencana sebagai langkah antisipasi. Selain itu, koordinasi dengan BNPB, TNI–Polri, dan kementerian terkait juga harus diperkuat agar penanggulangan bencana tidak bergantung sepenuhnya pada APBD.
Masyarakat berharap Pemprov Riau tidak hanya fokus pada pemadaman atau respons darurat, tetapi juga meningkatkan upaya mitigasi seperti rehabilitasi lahan gambut, pembangunan infrastruktur pengendalian banjir, dan sistem peringatan dini yang lebih efektif.
Jangan sampai setiap tahun kita hanya menunggu bencana dan baru sibuk setelah kejadian. Dengan anggaran Rp20 miliar, mustahil Riau bisa benar-benar siap menghadapi berbagai skenario bencana.
Pemprov Riau tampak akan melakukan evaluasi dan kemungkinan menambah anggaran melalui APBD Perubahan tahun berjalan. Dari sini terlihat bahwa penyusunan anggaran di Pemprov Riau oleh pemerintah daerah dan DPRD Riau belum menunjukkan pembelajaran dari pengalaman bencana yang terjadi setiap tahun. Kesan yang muncul seolah anggaran disusun sekadar ada, tanpa perencanaan matang. Jika anggaran kurang, biasanya mereka tinggal merevisi kegiatan lain atau menambahnya pada APBD Perubahan.
Padahal, ketika revisi harus dilakukan terus-menerus akibat kejadian tertentu, termasuk bencana, maka banyak kegiatan OPD akan terganggu. Perencanaan awal berubah, pelaksanaan program menjadi lambat, dan kegiatan yang seharusnya dapat segera dijalankan menjadi tertunda karena menunggu revisi. Hal seperti ini membuka berbagai potensi masalah di luar nalar.
Orang bijak mengatakan: belajarlah dari pengalaman, jangan masuk ke lubang yang sama setiap tahun. Akibat salah menghitung kebutuhan anggaran untuk membantu bencana di Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh, Pemprov Riau kini tampak gamang.
Ayo Riau, jangan tidak berubah—ayo Riau cepat berubah untuk masa depan yang lebih baik. Aamiin.**