iniriau.com, Jakarta – Pemerintah menyiapkan hampir 1 juta hektare lahan untuk mendukung pengembangan bahan baku etanol sebagai energi terbarukan nasional. Lahan tersebut tersebar di sekitar 18 hingga 19 provinsi, mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan hingga Sulawesi.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Negara (ATR/BPR) Nusron Wahid menjelaskan, sekitar 680 ribu hektare lahan sudah teridentifikasi, ditambah 240 ribu hektare lainnya, dan kini tinggal menunggu verifikasi dari Kementerian Pertanian.
“Kurang sekitar 100 ribu hektare lagi. Itu masih kami carikan dan pastikan kesesuaiannya,” ujar Nusron di kantor Kemenko Bidang Pangan, Jakarta Pusat, Selasa (11/11).
Ia menambahkan, sebagian lahan berasal dari eks Hak Guna Usaha (HGU) yang telah habis masa berlakunya dan tidak diperpanjang, sementara sisanya merupakan tanah terlantar yang sudah ditetapkan pemerintah.
Rencana ini berkaitan dengan kebijakan pencampuran 10 persen etanol dan metanol (E10) dalam bahan bakar bensin yang akan mulai diterapkan pada 2026. Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) menyebut, kebijakan ini akan mendorong peningkatan produksi singkong sebagai bahan baku utama.
“Tidak akan ada lagi tanah kosong. Setiap hektare bisa menghasilkan sekitar Rp80 juta per tahun. Selama ini tidak berjalan karena tidak ada pasarnya,” kata Zulhas.
Setiap liter etanol membutuhkan sekitar 6 kilogram singkong, dan peningkatan permintaan industri diperkirakan akan menaikkan harga singkong dari Rp1.300 menjadi di atas Rp1.500 per kilogram.
Sementara itu, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan kebijakan E10 ini sudah mendapat persetujuan Presiden Prabowo Subianto. “Presiden sudah menyetujui untuk mandatory 10 persen etanol. Ini akan mendukung target energi bersih dan menekan impor minyak,” ujarnya.
Kebijakan E10 menjadi bagian dari strategi menuju kemandirian energi dan mendukung komitmen pemerintah mencapai Net Zero Emission 2060.**