iniriau.com, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) menyita uang senilai Rp11,8 triliun dari kasus dugaan korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) dan produk turunannya pada tahun 2022. Penyitaan ini disebut sebagai yang terbesar dalam sejarah penanganan perkara tindak pidana korupsi oleh Kejagung.
"Barangkali hari ini merupakan konferensi pers terhadap penyitaan uang yang paling besar sepanjang sejarah," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (17/6/2025).
Harli menjelaskan, penyitaan dilakukan karena proses hukum masih berjalan dan belum memiliki kekuatan hukum tetap. Uang yang disita merupakan bentuk pengembalian kerugian negara yang dikembalikan oleh pihak korporasi selama tahap penuntutan.
“Karena perkara ini belum berkekuatan hukum tetap, maka dilakukan penyitaan terhadap uang yang dikembalikan tersebut,” jelas Harli.
Ia menyebut, pengembalian dana ini menjadi bentuk kesadaran dan kerja sama dari korporasi yang terlibat. “Ini diharapkan menjadi contoh bagi korporasi atau pihak-pihak lain yang sedang berperkara untuk turut mengembalikan kerugian negara,” tegasnya.
Sementara itu, Direktur Penuntutan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus), Sutikno, mengungkapkan bahwa kasus ini melibatkan lima perusahaan, yakni
PT Multimas Nabati Asahan, PT Multimas Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
Kelima perusahaan tersebut sebelumnya dinyatakan lepas dari segala tuntutan oleh Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Namun, jaksa penuntut umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan perkara masih dalam tahap pemeriksaan.
Sutikno merinci besaran pengembalian masing-masing perusahaan berdasarkan hasil audit BPKP dan kajian dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM, dengan total kerugian negara mencapai Rp11.880.351.802.619. Rinciannya sebagai berikut:
PT Multimas Nabati Asahan: Rp3,99 triliun, PT Multimas Nabati Sulawesi: Rp39,75 miliar, PT Sinar Alam Permai: Rp483,96 miliar, PT Wilmar Bioenergi Indonesia: Rp57,3 miliar dan PT Wilmar Nabati Indonesia: Rp7,3 triliun.
"Terhadap uang yang telah dikembalikan tersebut, penuntut umum telah melakukan penyitaan berdasarkan penetapan izin dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," pungkas Sutikno.**