iniriau.com, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis 15 nama mantan koruptor yang akan mencalonkan diri pada Pemilu 2024. Hal ini berdasarkan temuan yang dilakukan ICW atas daftar nama bakal caleg. Temuan ini berdasarkan data dari masukan masyarakat.
Menurut Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mengungkap, sejauh ini pihaknya menemukan ada 15 nama. Kelima belas bakal caleg Pemilu 2024 di DCS KPU ini ternyata pernah jadi napi korupsi. Mereka adalah:
1. Abdillah, bacaleg DPR RI, dari Partai NasDem, Dapil Sumatera Utara I, nomor urut 5, kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran dan penyelewengan dana APBD.
2. Abdullah Puteh, bacaleg DPR RI, dari Partai NasDem, Dapil Aceh II, nomor urut 1, kasus korupsi pembelian 2 unit helikopter saat menjadi Gubernur Aceh.
3. Susno Duadji, bacaleg DPR RI, dari PKB, nomor urut 2, korupsi pengamanan Pilkada Jabar 2009 dan korupsi penanganan PT Salmah Arowana Lestari.
4. Nurdin Halid, bacaleg DPR RI, dari Partai Golkar, Dapil Sulsel II, nomor urut 2, korupsi distribusi minyak goreng Bulog.
5. Rahudman Harahap, bacaleg DPR RI, dari Partai NasDem, Dapil Sumut I, nomor urut 4, korupsi dana tunjangan aparat desa saat dirinya menjadi Sekda Tapanuli Selatan.
6. Al Amin Nasution, bacaleg DPR RI, dari PDIP, Dapil Jawa Tengah VII, nomor urut 1, kasus menerima suap dari Sekda Bintan, Kepri, Azirwan untuk memuluskan proses alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan.
7. Rokhmin Dahuri, bacaleg DPR RI, dari PDIP, Dapil Jabar VIII, nomor urut 1, korupsi dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan.
8. Budi Antoni Aljufri, bacaleg DPR RI, dari Partai NasDem, Dapil Sumatera Selatan II, nomor urut 9, korupsi dalam perkara suap Ketua Mahkamah Konstitusi, mantan Bupati Empat Lawang.
9. Eep Hidayat, bacaleg DPR RI, dari Partai NasDem, Dapil Jawa Barat IX, nomor urut 1, korupsi dalam perkara biaya pungut pajak bumi dan bangunan Kabupaten Subang, mantan Bupati Subang.
10. Ismeth Abdullah, bacaleg DPD, Dapil Kepulauan Riau, nomor urut 8, korupsi dalam perkara pengadaan mobil kebakaran, mantan Gubernur Kepulauan Riau.
11. Patrice Rio Capella, bacaleg DPD, Dapil Bengkulu, nomor urut 10, kasus menerima gratifikasi dalam proses penanganan perkara bantuan daerah, tunggakan dana bagi hasil, dan penyertaan modal sejumlah BUMD di Sumut oleh Kejaksaan.
12. Dody Rondonuwu, bacaleg DPD, Dapil Kalimantan Timur, nomor urut 7, kasus korupsi dana asuransi 25 orang anggota DPRD Kota Bontang periode 2000-2004 (saat itu Dody masih menjadi anggota DPRD Kota Bontang).
13. Emir Moeis, bacaleg DPD, Dapil Kaltim, nomor urut 8, kasus suap proyek pembangunan PLTU di Tarahan, Lampung, 2004.
14. Irman Gusman, bacaleg DPD, Dapil Sumbar, nomor urut 7, kasus suap dalam impor gula oleh Perum Bulog.
15. Cinde Laras Yulianto, bacaleg DPD, Dapil Yogyakarta, nomor urut 3, kasus korupsi dana purna tugas Rp 3 miliar.
Kelima belas bakal caleg Pemilu 2024 di DCS KPU tersebut ternyata pernah jadi napi korupsi. Diprediksi jumlah tersebut kemungkinan masih bisa bertambah karena pihaknya yakin, masyarakat belum sepenuhnya memberikan informasi.
"Penting diingat, yang ICW lansir baru klaster DPR RI dan DPD. Bukan tidak mungkin ada banyak nama mantan terpidana korupsi sedang mencalonkan diri sebagai anggota DPRD, baik level Kota, Kabupaten, maupun Provinsi," imbuh Kurnia.
Untuk itu, ICW berharap, KPU segera mengumumkan kepada masyarakat terkait status hukum para bakal caleg tersebut.
Menurut ICW, pengumuman nama-nama caleg eks narapidana korupsi tersebut dirasa sangat penting sebagai informasi tambahan bagi masyarakat.
Apalagi Kurnia menilai KPU terkesan menutupi informasi ini.Sebab, ia menyebut, hingga kini penyelenggara Pemilu tidak kunjung mengumumkan status hukum para bakal caleg eks kasus korupsi.
"Ketiadaan pengumuman status terpidana korupsi dalam DCS tentu akan menyulitkan masyarakat untuk berpartisipasi memberikan masukan dan tanggapan terhadap DCS secara maksimal," kata Kurnia.
Terlebih, sambung dia, informasi mengenai daftar riwayat hidup para bakal caleg juga tidak disampaikan melalui laman KPU.
Padahal prinsip pelaksanaan Pemilu yang terbuka dan akuntabel tertuang dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.**