Oleh Zulkarnain Kadir, Pengamat Hukum dan Pemerhati Birokrasi
SETIAP - tahun APBD Riau disahkan dengan angka yang terdengar cukup besar ta 2026 : Rp8,3 triliun. Namun di lapangan, rakyat bertanya-tanya: ke mana sebenarnya anggaran sebesar itu bermuara setiap tahun?
Ironinya, justru rakyat pula yang sering ditanyai pemerintah, “Kenapa nganggur? Kenapa tidak bayar pajak? Kenapa usahamu tak berkembang?” kenapa anakmu tidak sekolah? Pertanyaan itu terasa janggal ketika APBD yang seharusnya menjadi mesin pembangunan belum sepenuhnya menyentuh kebutuhan dasar masyarakat.
APBD Riau: Angka cukup Besar, Dampak Tidak Terasa
Setiap tahun, APBD Riau mencapai triliun rupiah. Angka ini menunjukkan bahwa secara fiskal Riau bukan provinsi yang ‘miskin anggaran’. Namun di lapangan, kenyataannya berbeda:
Jalan kabupaten dan pedesaan masih rusak di banyak daerah.
Banjir terus datang setiap akhir tahun tanpa mitigasi yang serius.
Sektor pendidikan masih timpang, terutama di wilayah pesisir dan pedalaman.
Lapangan kerja baru minim meski anggaran ekonomi mencapai ratusan miliar.
Dengan kondisi seperti ini, wajar jika rakyat balik bertanya:
“Kenapa APBD tidak bekerja seperti yang dijanjikan?”
Prioritas Anggaran Masih Dipertanyakan
Dari tahun ke tahun, pola APBD Riau tidak banyak berubah:
belanja pegawai tinggi, belanja modal (pembangunan fisik) tidak tumbuh signifikan, sementara program pemberdayaan ekonomi rakyat sering tersisih.
Rakyat pun bertanya:
Kenapa bantuan UMKM kecil jumlahnya?
Kenapa anggaran pendidikan belum menyentuh kualitas guru dan sekolah di desa?
Kenapa penanganan banjir dan kebakaran hutan hanya jadi rutinitas tahunan?
Kenapa hilirisasi sawit dan migas yang dijanjikan tak kunjung membuka lapangan kerja besar?
Jawabannya selalu sama: “Tergantung prioritas.” Masalahnya, prioritas itu jarang turun ke rakyat, lebih sering berhenti di meja birokrasi.
Transparansi dan Pengawasan Lemah
Riau pernah menjadi sorotan nasional karena sejumlah kasus korupsi melibatkan pejabat tinggi daerah.
Dari proyek-proyek fiktif, mark-up anggaran, hingga pengelolaan aset yang bermasalah.
Inilah alasan banyak pihak mendesak agar APBD Riau lebih transparan dan mudah diakses publik.
Rakyat ingin tahu:
Program apa yang dibiayai APBD?
Berapa besar anggarannya?
Siapa pelaksana kegiatannya?
Apa hasilnya?
Selama data anggaran tidak dibuka seluas-luasnya, kepercayaan publik akan sulit pulih.
APBD Seharusnya Menjawab Masalah, Bukan Menambah Pertanyaan
APBD yang sehat bukan hanya besar, tapi tepat sasaran, berdampak, dan dirasakan langsung oleh rakyat.
Yang dibutuhkan rakyat Riau saat ini: Anggaran yang membuka lapangan kerja. Bukan sekadar proyek yang habis begitu saja. Anggaran yang memperbaiki sekolah dan tenaga pengajar
Karena pendidikan adalah cara paling cepat memutus kemiskinan. Anggaran mitigasi banjir, karhutla, dan infrastruktur dasar
Program konkrit, bukan kegiatan seremonial. Anggaran yang berpihak pada UMKM dan petani. Agar ekonomi rakyat bergerak dari bawah.
Ketika hal-hal ini terpenuhi, barulah negara berhak bertanya kepada rakyat.
APBD Riau Harus Kembali ke Tujuan Utamanya : Kesejahteraan. APBD bukan sekadar dokumen formal. Ia adalah hak rakyat yang harus kembali ke rakyat.
Riau punya segala modal: kekayaan alam, pendapatan yang stabil, serta potensi ekonomi besar. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian mengubah prioritas dari anggaran birokrasi menuju anggaran yang menyentuh warga.
Jika APBD masih dikelola dengan pola lama, maka pertanyaan “kenapa rakyat susah?” akan terus dijawab rakyat dengan kalimat yang sama:
“Karena APBD belum menjadi alat untuk menyejahterakan kami.”
