Jokowi Terpaksa Urusi Minyak Goreng, Gulat: Kesalahan pada Tata kelola

Jokowi  Terpaksa Urusi Minyak Goreng, Gulat:  Kesalahan pada Tata kelola
Harga migor melambung, kesalahan pada tata kela industri.(foto: ist)

Iniriau.com, JAKARTA  - Persoalan mahalnya harga minyak goreng saat ini, pembahasannya tidak lagi di level ibu-ibu, tetapi sudah sampai ke meja Presiden Jokowi. Joko Widodo pun angkat bicara. 

Dalam jumpa pers Senin, (3/1) lalu, Presiden Jokowi menyentil lambannya Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi, dalam merespon meroketnya harga minyak goreng. Presiden langsung menginstruksikan mendag untuk menstabilkan harga minyak goreng di pasaran.

Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Dr Gulat ME Manurung MP.,C.APO.,C.IMA, menanggapi pernyataan Menko Perekonomian dan Menteri Perdagangan yang  mengatakan operasi pasar segera dilakukan. Sebab menurut Gulat, faktanya, operasi pasar tidak menyelesaikan masalah karena bersifat sementara. Sebaiknya perlu ada solusi jangka panjang.

“Seharusnya Presiden Jokowi tidak perlu sampai turun tangan mengurusi minyak goreng. Cukup di level pembantu presiden. Tetapi ya itu tadi, karena menteri perdagangan lambat dan kebijakan hanya sebatas operasi pasar, presiden akhirnya turun tangan. 

"Seorang menteri harus mengetahui konstruksi hulu-hilir dan implikasi suatu persoalan,” urai Gulat.

Menurut Gulat, masalah lain seperti pupuk non subsidi dan herbisida yang harganya tinggi tidak menjadi prioritas kebijakan menteri perdagangan.

"Apakah Presiden Jokowi harus turun gunung juga mengatasi masalah ini?," ujar Gulat yang juga Ketua Bravo-5 Relawan Jokowi ini.

Diperkirakan total kebutuhan minyak goreng di dalam negeri baik kualitas tinggi, sedang dan non-kemasan/curah menurut data sekitar 6 juta ton, yang berasal dari 7,1 juta ton CPO (1 ton CPO akan menghasilkan 85% migor). Jadi kebutuhan CPO untuk migor ini  sebesar 13,19% dari total produksi CPO Indonesia (53,8 juta ton tahun 2021). Makanya, angka tersebut lumayan besar.

“Wajar minyak goreng naik di saat harga CPO internasional sedang tinggi. Situasi dunia sedang krisis energi dan Malaysia produsen nomor dua CPO dunia, sedang menghadapi bencana alam dan terdampak pandemi covid-19. Itu sebabnya semakin menjadi-jadilah harga CPO,” pungkas Gulat.

Semantara itu polemik minyak goreng ini, juga ditanggapi Ketua DPW APKASINDO Bengkulu, Jakfar. Menurut Jakfar, harga minyak goreng tidak boleh mahal. Indonesia sebagai penghasil CPO terbesar dunia, fakta ini seperti lelucon. Banyak banyak kesusahan akibat kenaikan harga CPO ini. Padahal negara sangat tergantung kepada ekonomi sawit saat ini dan ke depannya.

“Kesalahannya bukan di harga TBS dan CPO, melainkan tata kelola industri minyak goreng. Kenaikan harga TBS di level petani malahan menjadi cibiran masyarakat umum. Karena dinilai ikut mempengaruhi lonjakan harga migor, itu kan gak benar," ujarnya.

“Saya berpendapat harga minyak goreng memang berkaitan harga CPO Dunia. Itu hukum ekonominya,” paparnya. **

Berita Lainnya

Index